Sejarah Ruwatan Bumi di Kampung Adat Banceuy, Semua Hasil Bumi Bisa Manfaat dan Barokah

Sejarah Ruwatan Bumi di Kampung Adat Banceuy, Semua Hasil Bumi Bisa Manfaat dan Barokah
TUTUNGGULAN: Sejumlah ibu-ibu menumbuk padi secara bersama-sama sebagai salah satu prosesi ruwatan bumi di Kampung Adat Banceuy. INDRAWAN SETIADI/PASUNDAN EKSPRES
0 Komentar

Prosesi ruwatan selain dadahut yang merupakan persiapan, ada juga prosesi ngadieukeun yaitu meminta ijin pada leluhur dengan cara berdoa di goah agar berlangsungnya upacara ruwatan tersebut lancar. Menurut T.Dibyo, biasanya dilakukan satu hari sebelumnya.

“Setelah Ngadiukeun, tahap berikutnya yaitu mencit munding, masih sehari sebelumnya, seperempat dagingnya disisakan untuk menjamu tamu, sisanya dibagikan. Nanti jam empat sore, masih sehari sebelum pelaksanaan, ada prosesi ngalawar, menyiapkan sesajen dimuali dari tengah hingga sudut-sudut kampung, biasanya empat penjuru mata angin, itu berytujuan untuk memberitahu dan mengundang para leluhur bahwa akan diadakan ruwatan,” jelasnya lagi.

Dia menambahkan, bahwa hingga malam masih terus ada prosesi adat, seperti sholawatan yang biasanya dilaksanakan setelah solat magrib. Dan persembahan seni buhun gembyung sebagai penghormatan pada leluhur. Hingga sesi terakhir dari upacara ruwatan tersebut dikenal dengan istilah numbal atau panumbalan, yang juga merupakan acara inti dari ruwatan bumi tersebut.

Baca Juga:Prospek Kopi Arabika Gununghalu Potensial, Bisa Hidupkan 7.500 KeluargaButuh Rp3,5 Miliar untuk Tahap Awal, Pencairan Anggaran Pilkada Dibagi Tiga Tahap

Adapun tujuan numbal, kata T.Dibyo, yakni ngahurip bumi munar lemah, artinya supaya segala sesuatu yang dilakukan oleh masyarakat Kampung Adat Banceuy dan semua yang dihasilkan tanah Banceuy bisa bermanfaat dan barokah.

“Ada prosesi tersendiri dari panumbalan itu, dari mulai helaran. Yaitu ngarak Dewi sri, nyawer Dewi sei, ada ijab rosul, sebagai ungkapan syukur, terakhir sebagai hiburan biasanya ada pagelaran wayang golek,” pungkasnya. (idr/sep)

0 Komentar