Islam, Mudik dan Alternatif

Islam, Mudik dan Alternatif
Jaelani Husni 
0 Komentar

Oleh: Jaelani Husni 

Marhaban yaa Ramadan

Bagi umat Islam, Bulan Ramadan merupakan bulan yang ditunggu – tunggu. Selain soal kadar pahala yang dijanjikan berlipat ganda bagi mereka yang menjalankan puasa dan pelbagai ritual keagamaan lainnya, esensi Ramadan yang mesti dipahami adalah bulan penuh ampunan bagi setiap individu yang mampu menahan hawa nafsu dari gegap gempita godaan dunia.

Jika tidak dapat dilewati, akan menyeret kita ke dalam jurang kehancuran. Tak terkecuali dengan menahan hawa nafsu dari pikiran konservatif yang tengah mendera sebagian masyarakat kita akhir-akhir ini.

Dalam hal ini, kita, di tengah menjalani puasa sebulan penuh lamanya, dihadapkan dengan cobaan yang belum pernah ada pada Ramadan sebelumnya. Mewabahnya virus korona (Covid-19) semenjak desember 2019 di seluruh dunia, termasuk Indonesia memang membuat dampak yang luar biasa kompleks, terutama dari sektor ekonomi.

Baca Juga:Kadisparpora: Restoran Tetap Buka, Harus Perhatikan Protokol Covid-19Resinda Hotel Hadirkan Spesial Menu Ramadan Iftar

Rutinitas yang biasa dilakukan para pelaku usaha, baik menengah ke atas maupun menengah ke bawah tidak sedikit banyak yang gulung tikar. Sentra industri banyak merumahkan sebagian karyawannya hingga para pedagang kecil dan ojol kebingungan ke mana harus mencari pembeli dan pengguna jasanya.

Namun, ada hal yang menarik penulis dari kisruhnya situasi semacam ini, yakni ketakutan yang berlebihan. Ia, dalam anggapan penulis justru menjadi momok yang paling menakutkan dibanding dengan virus itu sendiri.

Hal ini wajar karena ketakutan yang berawal dari hilangnya sebagian peran akal (rasionalitas) untuk berpikir sehat justru menimbulkan opini-opini negatif, tidak terbuka karena kurangnya pemahaman yang komprehensif.

Tradisi Mudik
Salah satu contoh yang sering penulis dengar dari pikiran yang tidak terbuka dalam pelbagai sumber itu adalah mengartikan tradisi mudik dalam ruang konotasi yang negatif.
Mereka yang tertutup keilmuannya dan sering mengolok-olok apa yang telah disepakati ulama dan umara negeri ini selalu mengecam apa yang dilakukan pemerintah baik lewat mulut ke mulut, hingga mungkin disebarkan via media sosial.

Padahal jika ditelisik secara mendalam, tradisi (mudik) sebagaimana yang dikemukakan Koentjaraningrat (1991) merupakan bagian dari unsur kebudayaan. Sejalan dengan pengertiannya, ia merupakan hasil karya, karsa dan cipta manusia yang memiliki fleksibilitas tinggi, tidak jumud (stagnan) apalagi cenderung memaksakan kehendak yang tidak dibenarkan.

0 Komentar