Muhammadiyah di Ruang Virtual

0 Komentar

oleh : Zakiyuddin Baidhawy

Guru Besar di IAIN Salatiga

Melalui sidang tanwir di Bengkulu, 15-17 Februari, Muhammadiyah sepenuhnya menyadari bahwa era milenial dan revolusi industri 4.0 menengarai kebangkitan baru agama-agama di ruang publik.

Pengakuan dan kemungkinan-kemungkinan untuk mengimplementasikan gagasan-gagasan keagamaan, nilai-nilai, praktik-praktik, dan lembaga-lembaganya dalam bidang publik yang luas, meliputi pemerintahan, media, dan kehidupan warga negara, makin meningkat.

Dale Eickelman dan Jon Andersen (1999) menyatakan kebangkitan media terkini merupakan sarana strategis yang melayani transformasi Islam dalam pasar ide, identitas, nilai-nilai, dan wacana.

Baca Juga:Pengawas TPS Ikuti Test Wawancarafokus Layani Masyarakat Kades Sukasari Siapkan Mesin Sedot Saat Sulit Air

Beriringan dengan proses demokratisasi, kini otoritas dan interpretasi keagamaan berada di banyak tangan. Ruang publik berupa wacana dan partisipasi baru tidak terbatas pada lembaga-lembaga yang diakui oleh otoritas negara.

Ruang publik telah menjadi arena kontestasi bagi kaum konservatif untuk memunculkan tantangan bagi praktik dan otoritas penafsiran tradisional atas Islam, khususnya terkait kepentingan-kepentingan sosial dan agenda-agenda politik.

Terbukanya bidang sosial bagi para juru bicara baru dan praktik wacana baru bukan hanya menentang otoritas pemikiran yang telah mapan dalam persoalan keagamaan, bahkan juga membaurkan antara wacana publik dan privat dan menawarkan habitus baru dalam dunia produksi dan konsumsi yang berkaitan erat dengan media dan media baru.

Philip Jenkins memaknai abad ini sebagai abad ketika agama menggantikan ideologi sebagai kekuatan yang mengancam urusan-urusan kemanusiaan, mengarahkan sikap terhadap kebebasan dan kewajiban politik, konsep-konsep kebangsaan, serta konflik dan perang.

Produksi teks-teks tentang Islam, tentang agama dan kekerasan, sekaligus tentang perdamaian dan toleransi meningkat luar biasa. Perlu ditambahkan bahwa peristiwa 9/11 bukan hanya menguatkan makna tentang wajah ganda yang suci (ambivalence of the sacred, meminjam istilah yang dikenalkan Scott Appleby), namun juga keterikatan secara global.

Islam setelah 9/11 banyak memperoleh cibiran, namun juga mengundang minat dan ketertarikan banyak penduduk dunia untuk mengkajinya lebih mendalam.Wajar bila booming buku-buku tentang Islam dirasakan di Amerika Serikat utamanya dan negara-negara Barat umumnya.

Berbagai gagasan dan isu yang dikemukakan kaum intelektual, wartawan, dan sarjana mengenai Islam bertebaran di rak-rak buku dan di sudut-sudut jalanan. Islam juga banyak diperdebatkan di radio-radio dan acara-acara dialog dan berita di televisi.

0 Komentar