NU: Antara Khittah dan Godaan Politik

NU: Antara Khittah dan Godaan Politik
0 Komentar

Oleh: Anzar Abdullah
*) Dosen FKIP Universitas Islam Makassar

Mengamati perjalanan sejarah NU, sangatlah menarik. Apalagi sejak organisasi masyarakat Islam yang dipimpin oleh para kiai ini menyatakan kembali ke “Khittah 1926” pada tahun 1984 di Muktamar Situbondo, Jawa Timur. Apa pengaruh dan dampaknya, selama kurang lebih empat dasawarsa terakhir ini terhadap warga NU dan perjalanan sejaranya? Bagaimana kiprah NU di dalam memelihara Khittah 1926 untuk tidak tergoda dan kembali ke panggung politik praktis? Apakah mampu bertahan untuk tetap menjadi oraganisasi sosial keagamaan? Jawabannya, ternyata tidak. Fakta membuktikan sejak Pemilu 1999, 2004, 2014, dan suksesi untuk tahun 2019 ini, NU dengan Kiyai Ma’ruf Amin telah mengulangi kembali kesalahan-kesalahan masa lalu, dan tidak mampu menahan derasnya godaan politik.

Dari segi massa, NU yang sekarang ini sebagai ormas, adalah merupakan massa mengambang. Karena itu, wajarlah perilaku massa NU yang bisa lentur alias elastis, sesuai dengan sifat mengambang. Tetapi lebih penting, dalam kelenturan itu dapat diperoleh keuntungan bagi komunitas NU. Organisasi ini tidak harus beuntung asal komunitas memperoleh manfaat. Dalam posisi yang lentur, tokoh-tokoh NU dapat melakukan tawar-menawar politik, misalnya penyusunan daftar calon legislatif menjelang pemilihan umum, bahkan sebagai calon Wakil Presiden. NU sebagaimana dalam perjalanan sejarahnya, sangat lentur dan akomodatif. Oleh karena itu sudah pantas memperoleh imbalan suara pemilih massa NU. Ini wajar-wajar saja dalam konteks meminta dan memberi.

Ketika para elite NU berpikiran bahwa, untuk menggapai kemaslahatan umat pada konteks Indonesia, akan lebih baik menggunakan cara-cara politik. Maka seketika itu pula NU akan kembali berpolitik praktis. Adanya sistem politik yang terbuka, bebas, dan memberi jaminan kebebasan berpolitik, merupakan faktor kondisi yang merangsang NU kembali terjun ke dunia politik praktis, di samping pertimbangan-pertimbangan lainnya. Hanya saja, NU pada umumnya dijadikan sebagai pendulang suara. Meskipun demikian, NU selalu saja tidak menyadari bahwa dirinya hanya menjadi incaran untuk perolehan suara mencapai kekuasaan politik. Kasus di dalam pemilihan umum tahun 2004, antara Megawati (PDIP) dan Hasyim Muzadi (NU) sebagai Capres dan Cawapres, ternyata tidak terpilih? Mengapa karena tidak ada jaminan nyata, bahwa kalau orang NU yang tampil, maka otomatis anggota dibawahnya praktis ikut mendukung. Akhirnya yang terjadi adalah kekalahan telak. Mudah-mudahan analisis sejarah ini, pada kasus Jokowi-Ma’ruf Amin tidak terulang kembali seperti kasus Megawati-Muzadi. Kalaupun terulang kembali, itu sudah biasa dan tidak mengagetkan masyarakat, terutama warga Nahdiyyin.

0 Komentar