Realita Pendidikan di Sistem Kapitalisme

Realita Pendidikan di Sistem Kapitalisme
0 Komentar

Oleh : Ari Wiwin

Pegiat Literasi

Pendidikan memang menjadi hal utama di dalam kehidupan, karena dengan pendidikan manusia akan dianggap berguna, apalagi dengan kemampuan ilmu dan pendidikan yang tinggi. Tentu saja orang tidak akan memandang sebelah mata.

Begitupun yang diungkapkan Bupati Bandung HM Dadang yang mempunyai program dalam tiga tahun ke depan masyarakat minimal harus tamat SMA. Beliau menyampaikan saat menghadiri acara wisuda dan tafaruqon siswa Yayasan Pondok Pesantren Darul Ma’arif di Desa Rahayu Kecamatan Margaasih Bandung (Dejurnal. com Bandung 29/5/2021).

Beliau menyampaikan rasa terima kasih dan sangat mengapresiasi kepada Yayasan Pontren asuhan KH. Sofyan Yahya karena ikut berperan dalam mencerdaskan bangsa.  Dalam kesempatan itu beliau meminta kepada pihak sekolah untuk mengajukan siswa yang berprestasi dan kurang mampu agar mendapatkan beasiswa dari pemerintah. Dengan adanya beasiswa atau tunjangan diharapkan lulusan SMA/SMK diharapkan bisa melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi.

Baca Juga:Ritel Gulung Tikar, Rakyat kembali SekaratPembangunan Meningkat, Rakyat yang Terkena Dampak

Melihat fakta di atas, pemerintah terus meminta kepada generasi penerus bangsa ini untuk sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Pendidikan yang seharusnya diberikan secara gratis kepada peserta didik, sungguh menjadi hal yang mustahil.  Banyak anak putus sekolah karena terbentur biaya sekolah yang mahal. Ada yang terus bertahan dengan cara  berjualan, mengamen di pinggir jalan demi menyambung hidup dan biaya sekolah.

Begitulah hidup di negara yang mengemban kapitalisme. Sarana pendidikan yang semestinya menjadi hak rakyat dijadikan komoditi segelintir orang. Sehingga sarana pendidikan yang seharusnya murah menjadi mahal. Apalagi di masa pandemi Covid-19 ini, anak yang bersekolah dituntut mempunyai hanphone android dan juga kuota yang selalu penuh. Sedangkan masyarakat menengah ke bawah juga harus dituntut memenuhi kebutuhan makan sehari-hari yang semakin susah. Di sisi lain, negara lebih sibuk dengan pembangunan infrastruktur yang tidak selesai-selesai dan tentunya rakyat kecil tidak membutuhkannya. Karena rakyat hanya membutuhkan hak mendasar secara mudah dan murah.

Kurikulum sekulerisme yang menjauhkan agama dari kehidupan, selalu berubah-ubah, merepotkan serta membingungkan guru dan murid terus ditawarkan sebagai program terbaik. Padahal kurikulum ini hanya bertumpu pada pengembangan akal dan tidak bertumpu pada pengembangan sepiritual dan juga keimanan membuat kebanyakan generasi muda berjiwa individualis jauh dari agamis.

0 Komentar