Upaya Mencegah Perilaku Kekerasan Pada Anak dan Perempuan Pada Siswa SMPN 5 Cimahi

Diskusi membahas masalah kekerasan pada anak dan perempuan
Diskusi membahas masalah kekerasan pada anak dan perempuan
0 Komentar

Ahlan Lukman a),  Dr. Rita Patriasih, S.Pd., M.Sib) b)
Fakultas Pendidikan Teknologi dan Kejuruan
Universitas Pendidikan Indonesia,  Jl. Dr.Setiabudhi No.229 Bandung
a) Pendidikan Bahasa Korea, FPBS, Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung
b) Departemen Pendidikan Umum, Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung

Di Indonesia, kekerasan terhadap anak sudah membudaya dan dilakukan turun-temurun. Masalah kekerasan terhadap anak dan perempuan tidak dapat dianggap sepele dan harus ditangani secara serius oleh berbagai elemen masyarakat. Banyak permasalahan yang terjadi tidak disampaikan oleh korban kepada lembaga yang terkait, dalam hal ini P2TP2A yang bertugas menerima keluhan atau pengaduan dari masyarakat terkait hal tersebut. Masalah kekerasan di Kota Depok sejak tahun 2018 terdapat 101 peristiwa menyangkut kekerasan yang dilakukan kepada anak (Purnamasaria, Kusworob, & Rahayu Yun, 2019). Organisasi Buruh Internasional (ILO) memperkirakan, di Indonesia terdapat 4.201.452 anak (berusia di bawah 18 tahun) terlibat dalam pekerjaan berbahaya, lebih dari 1,5 juta orang diantaranya anak perempuan. Bahkan, data IPEC/ILO memperkirakan, terdapat 2,6 juta pekerja rumah tangga (PRT) di Indonesia dan sedikitnya 34,83 persen tergolong anak. Sekitar 93 persen anak perempuan. PRT anak perempuan berada dalam posisi rentan, mulai situasi kerja buruk, eksploitasi, hingga kekerasan seksual (Kemenpppa., 2016).

Pada dasarnya kekerasan terhadap anak dan perempuan dapat dicegah karena perilaku kekerasan tersebut adalah manifestasi perilaku emosional manusia dengan mengindahkan perilaku rasionalnya. Pada 2016, masyarakat juga sempat digemparkan dengan terungkapnya kasus prostitusi online yang melibatkan hampir 100 anak laki-laki di wilayah Bogor, Jawa Barat. Maraknya kasus perdagangan orang dengan modus eksploitasi seksual melalui media daring, menjadi peringatan dan tantangan bagi semua pihak (Kemenpppa, 2020). Untuk itu perlu dikaji upaya-upaya sehingga dapat mencegah berkembangnya perilaku emosional di tengah masyarakat (Pasalessy, 2010).

Baca Juga:Gelar Kegiatan Hari Pelanggan Nasional, BPJamsostek Purwakarta Berkomitmen Mengoptimalkan PelayananKritisi Keputusan Pemerintah Naikkan BBM, Aliansi Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Siap Gelar Demo Besar-Besaran Purwakarta

Kenapa anak menjadi sasaran kekerasan? pemicunya adalah kemiskinan atau kesulitan ekonomi yang dihadapi para orang tua, faktor kultural dan faktor struktural dalam masyarakat. Dari faktor kultural, misalnya, adanya pandangan bahwa anak adalah harta kekayaan orang tua atau pandangan bahwa anak harus patuh kepada orang tua seolah-olah menjadi alat pembenaran atas tindak kekerasan terhadap anak.  Faktor struktural diakibatkan adanya hubungan yang tidak seimbang (asimetris), baik di lingkungan keluarga maupun masyarakat (Zakiah, 2020).

0 Komentar