Utopia Kemandirian Pangan di Era Demokrasi

Utopia Kemandirian Pangan di Era Demokrasi
0 Komentar

Penulis : Putriyana
Aktivis Pemerhati Sosial

Awal tahun baru ini para pencinta tahu dan tempe harus menahan hasratnya mengonsumsi makanan favorit masyarakat Indonesia ini. Karena tahu dan tempe akhir-akhir ini harganya melonjak di pasaran. Yang biasanya pembeli mendapatkan 10 buah tahu dengan harga Rp5.000,00 tapi sekarang sudah tidak bisa lagi.

Ternyata melonjaknya tahu dan tempe dikarenakan kenaikan bahan baku kedelai impor sehingga membuat perajin tahu dan tempe mogok massal. Dari harga bahan baku kedelai yang biasanya Rp7.000,00 per kg meningkat menjadi Rp9.500,00 per kg. Hal ini membuat para perajin tahu dan tempe sepakat untuk menghentikan produksi sementara.

Sekjen Sedulur Perajin Tahu Indonesia (SPTI), Musodik menuturkan bahwa dengan naiknya harga bahan baku tersebut, para perajin tahu merugi karena keuntungan mereka kian berkurang. Hampir 30 persen perajin tahu kelas kecil se-Jabodetabek sudah berhenti produksi karena rugi. Dia menjelaskan, libur produksi atau mogok massal tidak hanya dilakukan oleh SPTI tetapi juga oleh perajin tahu dan juga tempe hampir di seluruh Indonesia. Beliau berharap ada perhatian dari pemerintah, agar menekan harga kedelai segera turun. Beliau ingin menyelamatkan perajin tahu yang kecil-kecil. Kalau tidak segera dilaksanakan (turun harga kedelai atau naik harga produk), dampaknya akan menjadi luas. (Republika.co.id, 2/1/2021)

Baca Juga:Mengakhiri Polemik VaksinHujan Membawa Berkah

Kejadian mogoknya para perajin tahu dan tempe ini membuktikan bahwa mereka sangat tergantung dengan kedelai impor. Ketua Harian Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Jawa Barat, Entang Sastraatmaja berpendapat bahwa dari sisi kualitas tidak dipungkiri kalau kedelai impor lebih unggul dan besar-besar dibanding kedelai lokal yang kecil-kecil. Ditambah lagi harga kedelai impor lebih murah dibanding produk lokal.

Oleh sebab itu para perajin tahu dan tempe lebih memilih kedelai impor dan hanya sedikit pula petani yang mau menanam kedelai. Padahal pendapat ini dibantah oleh Deputi Bidang Hayati LIPI, Prof Endang, dimana beliau berpendapat dengan teknologi yang tepat, kedelai yang ditanam di Indonesia, sesungguhnya dapat memenuhi kuota kebutuhan produktivitas nasional, tetapi ini terkait dengan beberapa kendala yang membelit rakyat. Di antaranya tata niaga kedelai yang saat ini tidak menguntungkan petani, impor kedelai lebih diutamakan oleh pemerintah, tidak ada kebijakan nasional untuk swasembada kedelai, rendahnya penerapan teknologi di lapangan, dan lemahnya permodalan bagi petani.

0 Komentar