ZAKAT FITRAH DAN KEMISKINAN JAWA BARAT

ZAKAT FITRAH DAN KEMISKINAN JAWA BARAT
0 Komentar

Oleh : Asep Gunawan
(Mantan Komisioner BAZNAS Kabupaten Purwakarta,
Dewan Fakar ICMI Orda Kabupaten Purwakarta)

Ada yang menarik dari catatan yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) pada Januari 2016. Disamping merilis penduduk miskin Indonesia pada September 2015 sebanyak 28,51 juta (10,62 juta di perkotaan dan 17,89 juta di perdesaan), catatan itu juga merilis bahwa dari 34 propinsi yang diamati, Jawa Barat menempati urutan pertama dengan jumlah penduduk miskin sebesar 2,7 juta, disusul Jawa Tengah (1,78 juta) dan Jawa Timur (1,57 juta). Bila dihitung berdasarkan jumlah penduduk, penduduk miskin di Jawa Barat 6,28 % dari total 43,02 juta, Jawa Tengah 5,50 % dari total 32,38 juta, dan Jawa Timur 4,20 % dari total 37,47 juta.

Terlepas dari perdebatan terkait indikator dan alat ukur yang digunakan, rilis tersebut menjadi sinyal negatif terkait optimalisasi program penanggulangan kemiskinan di propinsi dengan jumlah penduduk terbesar di Indonesia ini. Yang jelas, persoalan ini membutuhkan solusi sesegera mungkin. Diantara solusi yang ditawarkan Islam adalah dengan mendayagunakan zakat. Namun entah mengapa potensi zakat yang besar, belum menjadi solusi strategis dalam penanggulangan kemiskinan.

Baca Juga:Masih Banyak Warga Tidak Memakai Masker, Pelanggar Ditegur Secara HumanisPemkab Karawang Alokasikan Rp57 Miliar Untuk APD

Satu masalah

Pada satu pertemuan kajian zakat, penulis ditanya seorang peserta tentang boleh tidaknya zakat dikeluarkan langsung oleh muzakki (orang yang berzakat) kepada mustahik (penerima manfaat zakat), tanpa melalui lembaga zakat. Penulis menjawab, prinsip dalam pendistribusian zakat adalah kepastian dari penerima manfaatnya. Termasuk ke dalam ashnaaf (kelompok) penerima zakat atau tidak? Hanya yang harus dipahami, zakat tidak sekedar urusan kedermawanan semata. Zakat dalam Islam sifatnya otoritatif (perlu kekuatan yang memaksa), seperti yang dulu pernah dilakukan oleh Khalifah Abu Bakar al-Shiddiq dan Umar bin Abdul Aziz. Maka dari itu, keberadaan lembaga zakat otoritatif menjadi penting.

Secara eksplisit, pertanyaan di atas mengindikasikan masih adanya ketidak-percayaan masyarakat pada lembaga zakat, sehingga harus mengeluarkan sendiri kepada mustahik. Ini menjadi masalah sekaligus tantangan bagi semua lembaga zakat untuk introspeksi memperkuat kelembagaannya. Lembaga zakat harus mampu meyakinkan masyarakat bahwa berzakat melalui lembaga zakat otoritatif memiliki keutamaan, baik dari sisi esensi maupun teknis pendayagunaannya. Diantaranya, muzakki diharapkan lebih dapat memelihara keikhlasannya, mustahik lebih terjaga harga dirinya, amil zakat lebih dapat konsentrasi dalam mengelola dan mendayagunakan dana zakat, dana zakat yang terkumpul bisa dioptimalkan, ada pemerataan yang proposional, serta ada do’a dari amil zakat.

0 Komentar