Chrone yang Memaksa Mereka Pergi

Chrone yang Memaksa Mereka Pergi
0 Komentar

Tahun 2005

Ingatan saya melayang ke tahun 2005. Saat itu bibi saya mengabarkan kondisi kesehatan anaknya yang memburuk. Seperti memikul beban berat, menarik nafas panjang.

Saya ikut merasakan batinnya yang sedang sedih. Pasti kesulitan biaya untuk mengobatinya. Bagi petani miskin seperti dia. Saat itu belum ada BPJS. Juga masih jarang yang berobat ke rumah sakit.

“A Nerdi mau ketemu. Sebaiknya temui ke sana. Minta didoakan,” kata Bibi, berharap.

Baca Juga:Mengenal Probarz, Produk Makanan Ringan Bernutrisi Tinggi Hasil Penelitian LIPI SubangAuto 2000 Hadir di Cikampek, Layani Konsumen di Purwasuka

Katanya, berat badan anaknya, yang usianya lebih tua dari saya itu, terus menurun. Saya nelangsa, ingat masa kecil. Waktu kecil saya sering menggembala kambing dengannya.

Dia yang mengajari saya macam-macam rumput yang disukai kambing.

Dia juga yang mengajarkan saya cara mewarnai tangan menjadi merah, dengan tanaman khusus di pinggir sungai, jauh di ujung pesawahan.

Entah daun pohon apa. Lupa namanya.

Ah, betapa bahagianya bagi saya yang belum belajar pelajaran IPA, masih kelas 1 SD, sudah diajarkan tentang ilmu alam. Juga serunya menerka waktu dari bayangan pohon. Untuk menentukan jam berapa petualangan menggembala harus diakhiri.

Bayangan di masa kecil buyar. Kebahagiaan tidak tampak di matanya. Saat ditemui, badannya kurus kering. Tergolek lemas duduk di kursi. Senyum ketir terungging dari bibirnya. Sambil menahan sakit.

“Kata mantri sakit usus. Kebanyakan pedas atau kenapa, entahlah” katanya dalam bahasa Sunda.

Beruntung sang istri, yang baru beberapa bulan dinikahi tetap setia. Melayani apa saja yang dipintanya.

Saya suguhkan susu kental manis. Plus roti yang dibeli di warung kampung. Sekedar buah tangan. Lama tidak bertemu.

Baca Juga:Daerah Harus Bisa Kelola TangkubanparahuSisa-sisa Pabrik Gula Rajawali 2 yang Dikabarkan Mengalami Kebangkrutan

Sebulan berlalu. Saya kembali datang. Membelah kerumunan. Orang-orang dengan raut wajah berduka. Tangisan perempuan meraung dari kamar. Lantunan bacaan Alquran juga terdengar.

Saya buka kain, dengan mata basah. Nyaris tidak dikenali. Sangat kurus, terbalut kulit. Perutnya kembung, membiru. Ususnya sudah tidak berfungsi lagi. Membuatnya tak berdaya.

Yang mengajarkan menggembala telah pergi. Keluarga menangisinya, juga menangisi istrinya. Yang baru dinikahinya beberapa bulan saja.

Tahun 2000
Di sore yang mendung. Di tengah kerumunan dan kesibukan malam. Koper-koper besar berderet. Mata saya mencoba mengenali satu-satu yang datang. Tidak ada yang kenal, tidak ada senyuman. Kecuali dari anak dengan rambut kering, kurus.

0 Komentar