Eka Tjipta

Eka Tjipta
0 Komentar

Saat itulah temannya kesusahan. Perlu uang. Menyerahkan mobilnya. Hanya dengan harga Rp 30 ribu. Jadilah Eka punya dua mobil. Menjadi orang yang sangat terpandang.

Waktu meninjau bekas sekolahnya dulu sang kepala sekolah sendiri yang membukakan pintu mobilnya. Eka banyak menyumbang ke sekolah itu.

Lalu terjadilah perang kemerdekaan. Keadaan kacau. Jalur logistik putus. Pasukan bahan baku macet. Eka bangkrut lagi. Untuk ketiga kalinya.

Baca Juga:Kang Emil Ajak Warga Garut Lihat Prospek Ril Jokowi Dua PriodeJimy Galang Dana Patungan Biayai Perbaikan Rumah Warga

Sekali lagi Eka tidak mau meninggalkan utang. Ia sangat yakin kepercayaan adalah modal terpenting. Dengan kepercayaan ia yakin pasti bisa bangkit lagi. Kelak.

Ia jual yang bisa dijual cepat. Termasuk dua mobil kebanggannya. Ia kembali naik sepeda.

Saat bangkrut yang ketiga itulah Eka merasa sangat sakit. Bukan soal hidup susah lagi. Tapi soal harga diri. Orang yang dulu membukakan pintu mobilnya pun tidak mau menyapanya lagi.

Bahkan melengos saat disapa. Ia sampai malu keliling Makassar dengan sepedanya. Ia merasa semua jari menuding ke mukanya.
Eka tidak tahan lagi. Dirinya merasa terhina. Ia pun minggat dari Makassar. Menuju Malino. Daerah pegunungan sekitar 60 km dari Makassar. Ia menghabiskan waktu di situ. Dengan membaca. Ia memang gemar membaca.

Enam bulan Eka retreat di Malino. Barulah hatinya dingin. Ia kembali ke Makassar. Ingin mengerjakan apa yang bisa dikerjakan.

Waktu itu, awal 1950, TNI mengerahkan banyak pasukan ke Makassar. Untuk menumpas pemberontakan Andi Aziz. Dan Kahar Muzakar. Tentara kekurangan logistik. Para pedagang tidak mau menjadi pemasok. Khawatir pembayarannya macet.

Eka mendengar itu. Mau. Satu-satunya yang mau jadi pemasok. Ia punya logika sendiri. “Ini kan tentaranya pemerintah. Pemerintah sendiri. Sudah merdeka. Pasti punya uang.
Kalau pun tidak kan bisa cetak uang. Kan negaranya sendiri,” pikirnya.

Baca Juga:Bela Negara Melalui Tanam Ribuan Pohon MangrovePasber Galuh Mas Cocok Jadi Tempat Nongkrong

Eka kembali akan mengandalkan kepercayaan. Sebagai modal utamanya. Ia datangi perusahaan dagang negara. Peninggalan Belanda. Seperti Geowehry. Ia minta barang. Bayar belakangan. Minta waktu dua minggu. Seperti pembayaran yang dijanjikan tentara.

Ternyata dua minggu tidak ada pembayaran. Satu bulan tidak ada. Satu bulan setengah juga tidak. Eka datang ke Geowehry. Minta maaf. Menceritakan apa adanya. Membawa semua berkas dan tagihan. Ia ceritakan apa adanya. Tidak ada yang disembunyikan.

0 Komentar