Menurutnya, sistem ini menciptakan lingkaran utang yang menjerat banyak warga kecil.
“Kalau di Bank Emok pinjam Rp1 juta, yang diterima cuma Rp900 ribu. Rp100 ribunya dipotong untuk bunga atau administrasi. Besoknya warga sudah harus mulai nyicil, dengan bunga 10 sampai 20 persen. Kalau kepepet, bisa lebih,” ungkapnya.
Lebih jauh, ia menjelaskan, ketika warga tidak mampu membayar cicilan dari Bank Emok, mereka akan mencari pinjaman ke Bank Keliling, lalu ketika itu pun tak tertutupi, mereka bergeser ke pinjaman lain seperti MBK, dan seterusnya.
Baca Juga:Sekjen Kementerian ATR/BPN Minta Jajaran Kanwil dan Kantah Jaga Soliditas Internal dan Komunikasi EksternalSelenggarakan Sosialisasi Kehumasan, Kepala Biro Humas dan Protokol: Ketahui Informasi yang Jadi Kebutuhan
“Akhirnya, satu warga bisa punya empat cicilan dari empat tempat berbeda. Ini sangat membebani,” jelas Dedi.
Namun, ia juga menekankan bahwa kini negara telah hadir memberikan akses pinjaman yang lebih aman dan terjangkau, seperti lewat Program Pembiayaan Mikro Perumahan.
Dalam skema ini, kata Dedi, warga bisa mengajukan pinjaman dalam waktu tiga hari kerja, bahkan ditargetkan bisa dipercepat menjadi satu hari di masa depan.
Meski demikian, ia mengingatkan bahwa tantangan utama bukan hanya soal akses, tapi juga soal komitmen masyarakat untuk mengembalikan pinjaman.
“Masalahnya tinggal satu, sering kali kalau pinjaman ini berasal dari negara, masyarakat agak berat mengembalikannya. Padahal ini bukan bantuan, ini pinjaman. Maka perlu ada mekanisme yang bisa mengikat secara etis dan sosial,” pungkasnya. (cdp)