72 Tahun Subang tanpa City Branding

72 Tahun Subang tanpa City Branding
0 Komentar

Bukan maksud tidak melihat segala kemajuan yang ada di Subang tercinta. Tapi seharusnya kita membuat skala prioritas. Mana yang akan dijadikan agenda utama yang bersumber dari keinginan bersama. Keinginan masyarakat Subang. Dari kultur dan sanubari masyarakat.

Sederhananya, kita harus sudah fokus membangun merek (branding). Program pemerintah berada dalam bingkai branding. Sudah saatnya Subang punya brand. Bahasa kerennya: city branding. Subang mau dibagaimanakan? Di-Banyuwangi-kan, di-Purwakarta-kan, di-Bojonegoro-kan, di-Gunungkidul-kan.

Semua hal bisa Jawara? Jawabannya, TIDAK! Tidak bisa semuanya nomor 1. Dan, sebaiknya yang Jawara adalah yang benar-benar diinginkan masyarakat.

Baca Juga:KTT Dukung Kebijakan PSBB Dalam Penanganan Covid-19IMI Korwil Subang Optimis Dunia Balap Akan Maju

Banyuwangi memilih seni-budaya dan sentuhan arsitektural untuk memajukan daerahnya. Selain yang terpenting mambangun manusianya. Penuntasan anak putus sekolah, perpustakaan di objek wisata dan digital, seiramanya ulama-umaro, hingga mendorong kreativitas anak muda. Belum lagi beragam festival seni-budaya nasional hingga internasional. Urusan branding dan inovasi, Banyuwangi berhasil menjadi nomor wahid.

Tetangga kita, Purwakarta memilih citra nuansa Bali. Patron politiknya kuning, tapi tak perlu juga nuansa kuning. Di Purwakarta hitam-putih khas Bali. Makin pantas disebut kota. Lebih indah dan nyeni. Juga beragam event dibuat. Kedai kopi menjamur, hotel berderet dan pedagang kecil meraup untung.

Bukan isu lama, branding daerah atau kota selalu dilakukan oleh kota-kota besar bahkan negara di dunia. Untuk menarik wisatawan atau menumbuhkan perekonomian. Kota seperti Milan, Amsterdam, Paris misalnya menghabiskan jutaan dolar untuk kajian branding kota. Mereka melakukan studi komparatif.

Biasanya, penekanan branding ditekankan pada kajian pengunjung, budaya warga, aktivitas usaha atau bisnis hingga barang yang diekspor atau komoditas unggulan.

Subang di perlintasan tol trans Jawa, dekat dengan Bandung dan hanya dua jam ke Ibu Kota Jakarta. Buatlah mereka mampir untuk istirahat, kongkow, jajan atau bermain. Ada daya tarik untuk berhenti. Apa yang menarik mereka? Nanas, kerajinan, kedai kopi, makanan, festival, wisata atau apa saja.

Buatlah warga Subang betah, mudah bekerja, berkesenian dan berkreativitas. Hingga warga Subang tidak lagi bermimpi jadi TKI/TKW.

Lalu, untuk syarat yang ketiga dan keempat, usaha apa saja yang harus didorong jadi komoditas unggulan. Booming di Jabar, nasional dan ekspor. Jadi identitas Subang dan dibanggakan. Seperti warga Cirebon membanggakan batiknya. Sumedang terkenal dengan tahu-nya.

0 Komentar