Ancaman Destruktif Penerapan UU Omnibus Law Cipta Kerja Terhadap Pengelolaan Lahan di Indonesia dan Thailand.

Ancaman Destruktif Penerapan UU Omnibus Law Cipta Kerja Terhadap Pengelolaan Lahan di Indonesia dan Thailand.
0 Komentar

Merujuk pada teori  Charles E. Merriem (1961) dalam pengimplementasian sebuah kebijakan ditataran negara, maka harus memenuhi lima aspek utama, yakni keadilan, perlindungan, pertahanan, control dan kesejahteraan atau kemakmuran. Lantas apakah kebijakan Omnibus Law Cipta Kerja, terutama dibidang pertanahan sudah relevan dengan kelima variable tersebut.

Variable tersebut merupakan penegakan Keadilan sebagaimana telah disinggung oleh Prof. Thontowi bahwa Omibus Law lebih memihak pada investor asing bukan rakyat pada tujuan kebijakannya. Perlindungan, terhadap hak kepemilikan lahan dinilai hipokrit. Hal tersebut dikarenakan adanya ketentuan penghapusan pasal 44 ayat (3) UU No. 41 tahun 2009 tentang perlindungan lahan pertanian berkelanjutan. Sedangkan menurut data Konsorium Pembaruan Agaria (KPA) tanpa adanya UU Ciptaker selama satu dasawarsa terakhir, terjadi penyusutan lahan secara drastis dari mulanya menguasai 10,6% kini menyisakan 4,9% saja. Gagalnya negara dalam memberikan perlindungan, tentu akan berkorelasi pada ancaman kemananan negara, melalui konflik agaria yang semakin besar secara kuantitas tempat dan massa aksi.

Yang dimana pada pasal 125 ayat (1) UU Ciptaker menyatakan pembentukan Bank Tanah, namun sifatnya masih ambiguitas. Dimana Guru Besar UGM, Maria SW Sumardjono dalam diskusi PLSH bertema UU Ciptaker dan masa depan lingkungan Indonesia menyebutkan bahwa akan terjadi Tarik-menarik tanah yang disediakan oleh bank tanah, antara masyarakat dengan investor dalam hal perizinan usaha. Sedangkan di Indonesia sudah ada BLU dan LMAN guna menyelenggarakan fungsi bank tanah, sehingga nantinya akan tercipta tumpang tindih dalam pengontrolan kepentingan reforma agaria umum. Melihat beberapa indikator tersebut, maka sudah sangat jelas masih terdapat pasal-pasal kontroversi yang dapat merenggut kesejahteraan masyarakat dalam hal kepemilikan tanah, memenuhi kebutuhan lahan dan rumah layak huni.(*)

OLEH: Mita Ayu Andiyani

Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Indonesia

 

Laman:

1 2
0 Komentar