Chrone yang Memaksa Mereka Pergi

Chrone yang Memaksa Mereka Pergi
0 Komentar

“Sendiri? Bareng aja ya,” kata seorang lelaki ke arah saya.

“Oh, iya ayo bareng,” kataku, gerogi.

“Ini ada makanan, berdua aja makan. Ini anak saya, Yudi,” katanya.

Tidak lama, saya berkawan dengan Yudi. Dia pribadi yang asyik. Asal Sumedang. Sama-sama berbahasa Sunda, mendekatkan batin. Seperti teman lama. Padahal baru kenal. Asyik keliling kompleks sekolah yang luas.

Setahun kemudian dipertemukan di satu asrama. Satu kamar. Sebelumnya hanya bertemu sesekali saja. Dia lebih kurus, tingginya bertambah. Tapi rambutnya tetap kriting.

Baca Juga:Mengenal Probarz, Produk Makanan Ringan Bernutrisi Tinggi Hasil Penelitian LIPI SubangAuto 2000 Hadir di Cikampek, Layani Konsumen di Purwasuka

Di malam pertama dia tidak masuk asrama, kabarnya dirawat. Sebelumnya sempat melihat dia meringis memegang perut.

“Sering sakit perut. Kayak melilit begitu,” katanya saat saya tanya.

“Segera periksa, atuh. Kurang minum ya,” timpalku.

Sore itu dia masuk klinik. Dirawat. Saya pernah sekali menjenguknya. Dia titip pesan: jagain baju saya. Masih di lemari.

Semingu. Sebulan. Gak juga masuk sekolah. Bajunya masih di dalam tas. Saya menanti di kamar asrama. Teman begitu berarti bagi siswa sekolah sistem boarding school. Saya merasakannya. Kasurnya tak ada yang berani menempati.

Hingga kabar pedih tiba, sahabat keritingku yang baik hati telah ‘pergi’. Guruku bilang, terakhir dirawat di RS Indramayu. Pulang ke Sumedang dengan dada dan perut membiru. Terbujur kaku. Radang usus membuatnya tidak berdaya.

Tahun 2019
Saya dengar ada anak Fikom Unsub yang begitu mencintai buku. Saya tidak bertanya apa yang membuatnya begitu cinta dengan buku. Di tengah media sosial memborbardir cara hidup orang. Mengendalikan perilaku
Termasuk cara orang membaca.

Jika mengukur literasi hanya dari berapa banyak membaca buku, saya kira di era sekarang agak kurang tepat. Kini begitu mudah mengakses e-book dan jurnal ilmiah. Itu pula yang saya lakukan sekarang. Sering “membobol” jurnal-jurnal digital. Hehe.

Oh begitu hebat semangat mahasiswa itu. Sampai rela membuka perpustakaan jalanan di Wisma Karya. Menggelar tikar dan memajang beberapa buku. Membujuk anak-anak membaca buku. Dia tak peduli walau hanya satu orang yang membaca. Tidak peduli walau hanya punya beberapa buku saja. Saya sempat berbincang dengannya.

0 Komentar