NU: Antara Khittah dan Godaan Politik

NU: Antara Khittah dan Godaan Politik
0 Komentar

NU itu memang organisasi yang pandai mencari dukungan massa, tetapi tidak cerdas mengartikulasikan kepentingan-kepentingannya. Akibatnya NU terkesan sebagai pendulang suara dan pendukung saja. Walaupun demikian, karena kuatnya godaan politik, sehingga Khittah 1926, hanyalah sebuah retorika dan tidak berarti bagi kepentingan konsistensi untuk sebuah komitmen menjadikan NU sebagai jam’iyyah diniyyah (organisasi sosial-keagamaan).

Secara internal, paling tidak ada empat faktor yang menjadi pendorong munculnya kembali keinginan NU berpolitik (S. Ecip, 1994). Pertama, ketidakjelasan arah Khittah 1926. Seperti yang bisa disaksikan, selama kurang lebih empat-dasawarsa terakhir ini, tidak tampak perbedaan mendasar antara NU sebelum dan sesudah Khittah. Hal ini disebabkan karena tidak jelasnya wilayah yang menjadi garapan NU sebagai jam’iyyah diniyyah. Satu-satunya faktor pembeda yang jelas antara NU sebelum dan sesudah Khittah ialah terputusnya ikatan organisatoris NU dengan Partai Persatuan Pembangunan sejak Muktamar 1984 di Situbondo, Jawa Timur. Hal ini berarti, keputusan NU kembali ke Khittah 1926, lebih didorong oleh factor kekecewaan poltik, ketimbang sebagai suatu ide yang tumbuh dari keprihatinan kultural, sebagaimana diklaim oleh sebagian elite NU.

Kedua, merosotnya karisma para ulama, khususnya Lembaga syuriah (dewan agama), menyusul wafatnya para kiai sepuh paling berpengaruh, seperti K.H. As’ad Syamsul Arifin (Situbondo), K.H. Achmad Shiddiq (Jember), dan K.H. Ali Ma’shum (Krapyak). Padahal syuriah bukan sekadar pembimbing spiritual bagi NU, melainkan juga pemberi legitimasi atas segala kebijakan yang diambil Lembaga tanfidziah (dewan eksekutif). Lebih penting lagi, ketika ulama senior tersebut merupakan pembimbing NU untuk kembali ke “semangat” Khittah 1926. Ketiga, beragamnya orientasi politik maupun kultural yang makin berkembang di lingkungan NU. Seperti terlihat di dalam pemilihan umum 1992, 1987, 1999, 2004, 2009, 2014, dan 2019. Massa NU menyebar, tidak hanya di PPP, PKB, Golkar, tetapi juga di PDIP. (*)

Laman:

1 2
Tag:  
0 Komentar