Ada Apa dengan Nasdem-Jimat?

Ada Apa dengan Nasdem-Jimat?
0 Komentar

Nasdem memerankan komunikasi politik yang populis. Tetap tidak kehilangan marwah sebagai partai yang kritis, tetap menyuarakan kepentingan masyarakat. Membangun identitas kuat: Nasdem adalah Eep. Eep adalah Nasdem. Ingat bagaimana Eep dulu membesarkan PDIP?

Nasdem melakukan standar ganda. Partai koalisi sekaligus oposisi. Partai penguasa sekaligus penyedia panggung kritik penguasa. Membuka kemungkinan dialog dengan kelompok mana saja. Sekaligus menutup dominasi kelompok oposisi. Jadi, apakah Nasdem menyerang atau melindungi? Apakah ada partai oposisi yang lebih keras mengkritik? Atau mungkin partai oposisi justru tidak ada.

Jimat harus bagaimana? Jika memang ini drama politik, tinggal melanjutkan dramanya. Tidak ada yang harus dikhawatirkan. Sampai publik puas. Dalam politik bermain drama itu sah-sah saja. Politisi selalu memerankan panggung depan dan panggung belakang. Di panggung depan berkelahi, di panggung belakang saling dandani. Begitulah teori Dramaturgi yang dikemukakan Erving Goffmann dalam ‘The Presentation of Self in Everyday Life (1955)’.

Jika ini serius, Jimat harus berfikir keras bagaimana menghadapi kritik Nasdem. Yang digawangi oleh Eep yang pernah menjadi Bupati Subang dua periode. Tentu tahu “jeroannya” pemerintahan.

Bisa kita cek, apakah kebijakan Pemda terhambat di DPRD? Jika tidak, memang sebenarnya tidak ada partai oposisi. Memang Nasdem hanya mengesankan ‘menyerang’ saja di ruang publik. Membela di ruang parlemen. Itulah panggung depan dan panggung belakang yang dimainkan.

Apakah perlu bagi Ruhimat mengakuisisi partai tertentu untuk dijadikan tameng kekuasaannya? Bisa harus, bisa juga tidak harus. Sederhananya, bisa lihat bagaimana Ridwan Kamil dari kursi Wali Kota Bandung menuju Gubernur Jabar. Tanpa menunggangi satu partai pun. Mulus dan menang.

Lebih tinggi lagi, bisa diamati karir politik Joko Widodo (Jokowi). Dari Wali Kota Solo, memenangkan Pilgub DKI Jakarta hingga terpilih jadi presiden dua periode. Tanpa perlu menjadi ketua partai mana pun. Padahal kalau mau, banyak parpol yang bersedia dengan senang hati menyediakan karpet merah dan kursi ketua partai.

Mengapa Jokowi dan Ridwan Kamil bisa meniti karir segemilang itu? Tidak takut diserang singa-singa parlemen dari oposisi? Karena mereka bisa menempatkan diri dan membuktikan diri. Bisa memerankan panggung depan dan belakang. Bisa membuktikan kinerja hingga menjadi media darling. Berita kebaikan lebih besar porsinya daripada berita keburukannya. Apakah semua itu karena bayaran? Tidak juga demikian. Buktinya banyak.

0 Komentar