Bebal

Belajar Filsafat
0 Komentar

Provokasi yang datang dari berbagai arah; media sosial, tokoh, individu atau kelompok dalam berbagai bentuknya, Tak diimbangi kemampuan masyarakat untuk menyeleksi dan melakukan kontrol terpaan informasi. Provokasi yang melahirkan situasi kebingungan, membuat ruang kosong dipikiran massa, ketidakpastian, mendorong kebencian dan ancaman semu dan bahkan memroduksi kekacauan palsu. Provokasi itu mengendalikan kebebalan, kekacauan, kebrutalan dan kebringasan masal, menjadi bagian dari industri besar pikiran (great mind industry). Kebebalan juga mendorong terciptanya masyarakat yang mayoritas yang diam (the silent majorities). Coba tanya saja kepada Jean Baudrillard dalam In The Shadow of The Silent Majorities. Sebagai contoh kemacetan lalu-lintas bukan karena tak tahunya menyikapi rambu-rambu lalu-lintas. Tetapi hal itu cerminan sikap yang acuh, nir rasa terhadap adanya kepentingan orang lain.

Kebebalan nurani, pikiran, atau sindrom marginal bisa diasah melalui kearifan dan kebudayaan lokal.  Kearifan lokal adalah bagian dari pranata budaya yang menjadi pedoman tata laku, dan laku kelakuan sekaligus katalisator dari keterasingan budaya baru. Kearifan lokal adalah jalan ketiga untuk menguatkan ideologi negara dan mengikis kebebalan.

Entah adakah hubungan binatangisme yang berasal dari kebebalan dengan novel karya George Orwell “Animal Farm” menjadi Binatangisme”. Orang Inggris bernama asli Eric Arthur Blair ini,  menceritakan pemberontakan para binatang di sebuah peternakan terhadap kesewenangan manusia. Dan dengan lincahnya, seperti lincahnya pembalap meliuk-liuk di track balapan, Mahbub Junaedi menerjemahkan “Animal Farm”, seolah itu adalah novelnya sendiri. (*)

OLEH: Kang Marbawi

Laman:

1 2
0 Komentar