Catatan Harian Dahlan Iskan: Hidup Fanatisme

Catatan Harian Dahlan Iskan: Hidup Fanatisme (Tugu Singa Tangguh di Stadion Kanjuruhan Malang yang didatangi banyak orang untuk tabur bunga menyampaikan duka dan berdoa untuk para suporter yang meninggal dunia dalam tragedi.--foto via Disway.id)
Catatan Harian Dahlan Iskan: Hidup Fanatisme (Tugu Singa Tangguh di Stadion Kanjuruhan Malang yang didatangi banyak orang untuk tabur bunga menyampaikan duka dan berdoa untuk para suporter yang meninggal dunia dalam tragedi.--foto via Disway.id)
0 Komentar

FANATISME itu bisa membuat hidup lebih hidup.

Lihatlah betapa hidupnya Stadion Kanjuruhan, Malang. Stadion Manahan, Solo. Stadion Gelora Bung Tomo dekat Gresik. Si Jalak Harupat Bandung. Juga almarhum stadion Mattoanging Makassar…

Hidup itu harus hidup. Urip iku urup. Menyala-nyala. Syeh Siti Jenar pernah mengatakan kita semua itu bangkai. Hanya saja ada bangkai yang masih bernyawa. Tapi bangkai.

Contoh hidup tanpa fanatisme adalah hidupnya pohon.

Ada ribuan jenis fanatisme. Keluarga kita adalah keluarga terbaik. Itu adalah fanatisme tingkat keluarga. Desa kita paling hebat adalah fanatisme tingkat desa. NKRI harga mati adalah fanatisme tingkat negara.

Baca Juga:NILAI EKONOMI LIMBAH SAWITPembelajaran Bermakna Melalui Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila

Sepanjang levelnya masih yang “paling hebat” kadar bahayanya tidak tinggi. Baru kalau level fanatisme itu meningkat ke “yang paling benar” bahayanya muncul. Bahaya bagi publik.

Fanatisme membuat hidup lebih bergairah. Asal terkelola. Itulah sebabnya mengapa ada pengelola. Lalu ada pemimpin. Salah satu tugas pemimpin adalah mengelola fanatisme itu.

Mengelola bukan berarti mematikan. Juga bukan membiarkan. Pemimpin yang mematikan fanatisme sama dengan mengubah manusia jadi pohon. Pemimpin yang membiarkannya sama dengan menciptakan anarkhi.

Fanatisme harus ada pada level yang tepat. Jangan ketinggian, jangan kerendahan. Melarang sepak bola dan apa pun yang digemari masyarakat sama dengan menciptakan banyak pohon.

“Level” yang tepat itulah seninya. Seni kepemimpinan.

Bupati, wali kota, Kapolres adalah pemimpin tingkat lokal yang paling tahu bagaimana mengukur level fanatisme itu. Lengkap dengan kearifan lokalnya.

Kepentingan bupati/wali kota adalah meningkatkan gairah masyarakatnya. Gairah yang bisa melahirkan jiwa partisipasi. Yakni partisipasi bagi pembangunan daerah. Bisa lewat apa saja: salah satunya sepak bola.

Maka bupati/wali kota adalah gas. Ia perlu menginjak gas kuat-kuat agar gairah itu meluap-luap. Agar hidup lebih hidup. Pembangunan lebih semarak. Termasuk pembangunan di kota/kabupaten tersebut. Muaranya harus untuk pembangunan.

Baca Juga:Kurangi Pengangguran, Disnakertrans Purwakarta Berkolaborasi dengan KCD Disdik JabarLongsor Akibat Hujan Deras dan Drainase yang Sempit, Terjang TPT dan Tembok Rumah Warga di Parongpong

Kapolres/ta/tabes, adalah remnya. Ia harus menginjak rem itu ketika jalannya mobil sudah berbahaya. Tapi tidak bisa juga rem itu diinjak terus. Mobil tidak akan bisa berjalan. Untuk apa ada rem kalau mobilnya diniatkan untuk tidak berjalan.

0 Komentar