Fasilitas Mewah kok Ditolak?

Fasilitas Mewah kok Ditolak?
0 Komentar

Para pejabat adalah representasi suara umat. Bukan saja harus amanah menjalankan tugas kepemimpinan tapi juga konsisten dengan janji yang telah diucapkan. Baik secara personal ataupun sistem. Terlebih lagi demokrasi dengan semboyan keramatnya, “dari rakyat, untuk rakyat dan oleh rakyat” harus mampu dibuktikan secara riil, sekiranya  demokrasi pantas dipertahankan sebagai ‘sistem terbaik’ dan mampu mencetak pejabat amanah.

Jika mau jujur, sudah sejak lama semboyan keramat tersebut tak lagi sesuai realita. Para pemimpin yang dipilih memanglah berasal dari rakyat, mereka dipilih karena diyakini mampu mewujudkan aspirasi dan kepentingan rakyat. Namun, saat sudah menduduki jabatan, ia lupa tentang keberadaaannya. Lupa jika ia adalah pilihan rakyat, bekerja demi keinginan rakyat dan karena rakyat pula ia bisa menjadi pejabat.

Di samping itu, demokrasi kapitalisme telah menjadikan otonomi daerah sebagai alat bagi-bagi tanggung jawab.  Maka yang terjadi adalah kontrol pusat tidak berjalan hingga ke pelosok, distribusi tidak merata, akses informasi terhambat, kesenjangan sosial antara warga perkotaan dan pedesaan demikian lebar. Bukankah rakyat yang tinggal di ibukota, di pelosok desa, di kabupaten atau kotamadya adalah sama? Mereka rakyat yang harusnya mendapat perlakuan serupa, dari kepala negara hingga bawahannya di daerah.

Baca Juga:Negara Penanggung Jawab Penyelenggara PendidikanPNS Fiktif Terima Gaji, Musibah Tatanan Ketenagakerjaan

Inilah mengapa komitmen pemimpin dalam sistem demokrasi diragukan akan terealisasi. Sebab tekad baik pejabat tidak cukup lahir dari personal saja tapi harus didukung kondusifitas masyarakat dan negara secara sistemik.  Jika tidak, akan terbentur birokrasi dan prosedur berbelit dari undang-undang yang saat ini berlaku.

Syariat Islam Mewujudkan Komitmen Hakiki

 Keimanan sebagai landasan beraktivitasnya seorang muslim, mampu menempatkan kepemilikan secara tepat. Ada kepemilikan individu, kepemilikan umum dan kepemilikan negara. Begitu pun terkait fasilitas. Ada fasilitas pribadi, fasilitas umum dan fasilitas negara. Masing-masing menempati posisi sesuai substansinya. Tidak boleh hak pribadi diambil oleh kelompok dan negara (tanpa ada hajat syar’i) atau hak umum dikuasai oleh individu kecuali negara memandang perlu untuk dikelola dan diambil alih.

Pejabat (pemimpin) dalam sistem pemerintahan Islam akan berhati-hati menggunakan fasilitas negara, terlebih fasilitas tersebut datang dari uang rakyat. Sebab kedudukan pemimpin dalam Islam adalah pekerja (ajir) dari majikannya yaitu rakyat. Ia akan melakukan pengaturan urusan umat berdasarkan aturan Allah dan tuntunan Rasul-Nya secara optimal. Baginya amanah kepemimpinan adalah beban berat yang harus dipertanggungjawabkan di hadapan Allah Swt. Sehingga tak ada kata ‘aji mumpung’ menggunakan jabatan dan fasilitasnya.

0 Komentar