Kaka: Hubungan Pemda dan DPRD Bermasalah

Kaka Suminta, Sekjend KIPP

Buruknya Ketebukaan Informasi Keuangan

SUBANG-Penundaan pembayaran Pemda Subang ke pihak ketiga di tahun 2019 mendapat tanggapan dari berbagai pihak. Pemda dan DPRD harus bertanggungjawab mencarikan solusi atas penundaan pembayaran ini.

Ketua Forum Pemerhati Kebijakan Publik (FPKP) Kabupaten Subang, Aip Saefulrohman mengaku heran kepada Pemda Subang, ketika sudah tahu ada penundaan pembayaran dari pusat Rp54 miliar di tahun 2019 malah tidak memasukan ke anggaran pendapatan pada APBD 2020.

Padahal pembahasan APBD di bulan Desember masih terus dilakukan. Informasi penundaan pembayaran dari pusat tersebut keluar pada 3 Desember. Wakil Bupati Subang, Agus Masykur menyebut 2020 uang dari pusat tersebut akan masuk ke kas Pemda.

“Nah kalau sudah tahu ada penundaan pembayaran dari pusat, kata Wabup bilang begitu kan. Pertanyaaan saya mengapa tidak dimasukan di APBD 2020,” kata Aip dihubungi Kamis (9/1).
Dengan tidak memasukan anggaran pendapatan di APBD 2020 berupa transfer dari pusat karena penundaan pembayaran 2019, kata Aip, bisa jadi memang pusat tidak akan memberikan ke Pemda.

Aip justru mempertanyakan mengapa pusat menunda pembayaran ke Pemda di triwulan ke-4. Aip menduga ada yang tidak beres dengan tata kelola keuangan daerah.
“Ada yang janggal dengan sistem keuangan Pemda Subang. Harus ada alasan yang jelas dan harus terbuka sampai-sampai pusat tidak mengeluarkan anggaran ke pemda di akhir tahun,” ujarnya.

Sebagai mantan anggota DPRD Subang, Aip tidak menerima pendapat Wabup Subang bahwa Perbup No 84 Tahun 2019 tentang Mekanisme Penundaan Pembayaran Belanja Langsung pada Perangkat Daerah di Lingkungan Pemerintah Daerah Kabupaten Subang itu sebagai langkah antisipasi jika terjadi tunda bayar.

“Tidak bisa Perbup keluar tanpa dasar. Masa ada Perbup antisipasi. Harusnya Perbup itu keluar karena apa yang terjadi, bukan memprediksi sesuatu yang belum terjadi,” ujarnya.
Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) yang telah melebarkan sayapnya melakukan pemantauan terhadap parlemen memberikan argumentasinya atas fenomena penundaan bayar Pemda Subang ke pihak ketiga.

“Dari sisi tata kelola pemerintahan dan tata kelola keuangan daerah, apa yang terjadi di Subang merupakan ekses saja dari buruknya sistem informasi keuangan daerah. Seharunya publik tahu tentang keuangan daerah, sehingga jika DPRD saja tidak tahu, maka ini menandakan sangat buruknya keterbukaan pemerintah di Subang,” jelas Sekjend KIPP, Kaka Suminta.
Mengenai langkah sejumlah fraksi di DPRD mengajuk hak interpelasi, kata dia, itu adalah hak kelembagaan DPRD Subang untuk mempertanyakan secara formal yang diatur dalam UU MD3 agar persoalamnya menjadi jelas.

“Tapi hal itu juga menandakan bahwa ada masalah dengan hubungan eksekutif legislatif sehingga informasi soal keuangan bisa tak tersampaikan dengan baik,” ujarnya.

Dia mengatakan, akar permasalahannya yang pertama dari eksekutif sendiri sejauh mana keterbukaan publik dilakukan, khususnya soal keuangan dan pembanguan yang merupakan hak publik untuk tahu.

“Kedua ya DPRD sendiri, harus mampu untuk membuka akses itu karena memiliki kewenangan dan mandat untuk itu,” ujarnya.
Akademisi dari Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Sutaatmadja (Stiesa), Gugyh Susandy SE, M.Si, CBM menjelaskan, anggaran itu wujud nyata sebuah manajemen stratejik pemerintah daerah. Karena manajemen stratejik itu bicara variabel yang tidak bisa dikendalikan maka tidak ada alasan bahwa anggaran itu failed.
“Sesungguhnya variabel yang tidak terkontrol dalam manajemen stratejik telah di kalkulasi dan antisipasi dalam perencanaannya,” ujarnya.

Merujuk pada bapak manajemen Stratejik Mintzberg, Gugyh mengatakan, manajemen stratejik itu bisa jauh dari konsep ke pelaksanaan hanya bisa terjadi akibat strategi mendompleng.
“Akibat dari pendekatan oportunistik mengalahkan pendekatan rasional. Hal inilah yang seharusnya menjadi perhatian kita di Subang. Apa, Bagaimana, Kapan, Dimana, Siapa yang mengaktifkan mode strategi mendompleng dalam Anggaran pemerintahan daerah?,” ujarnya.

Dia menuturkan, terkadang perhatian kita selalu kritis di wilayah pelaksanaan, namun abai dan membiarkan Pemda kesulitan dalam aspek perencanaan. Justru di aspek perencanaan inilah bibit strategi mendompleng sudah muncul.

Gugyh menyebut, lebih dasar lagi perencanaan anggaran model parlemen yang rentan kepentingan politik menjadi titik sentral perbaikan bersama. “Kecuali partai politik memahami dengan benar arti politik itu yang sesungguhnya. Politik adalah Riayatun Su’unil Umah (Mengurusi Urusan Rakyat/umat) bukan urusan pribadi dan golongan,” pungkasnya.(ysp/ded)