Masjid Jarang

Masjid Jarang
0 Komentar

“Bagaimana waktu salat? Bukankah salat harus berhimpitan,” tanyanyi.

Saya serahkan ke ustaz yang ikut senam di situ untuk menjawabnyi.

“Kan tidak ada yang bicara selama salat. Tidak ada kekhawatiran ada droplet. Mestinya boleh tidak jaga jarak,” ujar ustaz kami.

Saya pun menyela.

“Tapi biasanya banyak juga yang batuk-batuk,” sela saya.

“Berarti ya harus jaga jarak,” ujar ustaz kami.

Yang bertanya tadi masih bertanya lagi. “Kalau jaga jarak nanti kan ada setan yang menempati sela-sela itu. Bagaimana?“ tanyanyi.

Baca Juga:137 Orang Datang dari Luar Negeri dan JabodetabekDua Anggota Dewan Apresiasi Puskesmas Kalijati

Memang itulah doktrin salat. Harus berhimpitan. Yang salatnya berjarak, akan ada setan di sela itu.

Saya hanya bisa menjawabnyi dengan guyon. “Baik juga ada setan di situ. Agar salat kita teruji,” jawab saya sambil senyum.

Kini Masjid Agung Surabaya yang menjawabnyi dengan serius. Dengan praktik di kenyataan. Berarti hari itu begitu banyak setan yang ke Masjid Agung Surabaya.

Khotbah hari itu juga pendek. Disesuaikan dengan zaman Covid-19. Doa yang dibaca imam yang agak panjang. Tapi doa hari itu sangat mengharukan –doa tolak bala. Cara melantunkan doanya pun sangat syahdu. Sangat memerindingkan kuduk. Doa qunut itu terasa daruratnya. Banyak jamaah yang ikut tersedu.

Khotib hari itu adalah KH Husen Rifa’i. Beliau adalah pengasuh Pondok Pesantren Jabal Noer, Geluran, Taman, Sidoarjo.

Ketika salat Jumat selesai, hujan pun turun. Kejadian itu memberi pelajaran baru. Ternyata masih ada titik kelemahan: jamaah menggerombol di dekat pintu –menunggu hujan reda.

Takmir masjid sigap. Diumumkanlah agar jamaah tetap menjaga jarak. Tidak boleh menggerombol. Lebih baik kembali ke tempat salat masing-masing. Menunggu hujan reda sambil membaca Alquran.

Baca Juga:Tanggul Jebol di Sungai Kamal Desa Sukareja Sudah Mulai DiperbaikiPPNI Lakukan Penyemprotan Disinfektan

Seruan itu ditaati. Semua kembali ke tempat salat. Membaca Alquran lewat layar ponsel masing-masing.

Setelah hujan reda terlihat lagi kekurangan: orang bergerombol untuk mencari sandal/sepatu masing-masing.

“Kami menemukan kelemahan itu. Kami akan atasi,” ujar Helmy Noor, pengurus Masjid Agung Surabaya.

Helmy adalah alumni Pondok pesantren Bahrul Ulum Tambak Beras, Jombang. Lalu melanjutkan ke Sospol Universitas Darul Ulum, juga di Jombang.

0 Komentar