Ribut-Ribut Natal (Lagi)

Ribut-Ribut Natal (Lagi)
0 Komentar

Oleh:
SUHAERUDIN
Sekjend PD Muhammadiyah Subang

Tentu bukan perayaan Natal 25 Desember-nya yang bikin ribut akan tetapi justru di kalangan bukan umat Kristiani yang ribut. Aneh sebenarnya justru umat Islam yang selalu berdebat pro dan kontra mengucapkan selamat Natal pada umat Kristen. Hampir setiap tahun.

Perlu koreksi diri atas kebodohan umat Islam ini. Isu toleransi yang menjadi penyebab. Jika saja kita berfikir jernih maka tentu selesai masalahnya. Fikiran jernih adalah mari fikirkan urusan kita sendiri. Toleranlah dengan membiarkan urusan orang lain. Jangan ganggu, jangan singgung, jangan masuk masuk ke urusan umat lain. Biarkan umat Kristen merayakan Natal, umat Hindu dan lainnya merayakan hari rayanya. Kita hormati dengan diam. Bukan banyak omong ini itu, selamat ini dan itu.

Secara substansi sebenarnya umat manapun tidak butuh campur tangan. Umat Islam tidak butuh ucapan selamat Ied dari umat lain. Umat Islam tidak sakit hati jika umat Kristen tidak mengucapkan hal tersebut. Malah mungkin kita senang dan bahagia karena mereka tidak membuat kita sulit dengan mesti membalas ucapan. Demikian juga sebaliknya, benarkah umat Kristen butuh ucapan selamat dari umat Islam ? Belum tentu. Atau tidak perlu perlu amat.

Baca Juga:Tiga Kecamatan Porak-Poranda Diterjang Angin Puting BeliungMercure Karawang Mengusung Konsep Tahun Baru dengan Tematik Fantasy Land

Jika ada yang mempraktekan, sepanjang tidak menganjurkan tak perlu direaksi. Biarlah menjadi tanggungjawab individual. Misalnya secara demonstratif Wakil Presiden yang “Kyai” mengucapkan selamat, ya biar saja sebab risiko tanggung sendiri. Itu pertaruhan dengan Allah SWT. Tetapi jika menganjurkan maka umat berhak untuk menolak, mengecam, bahkan mungkin mendesak agar ia mundur dari jabatan. Wapres itu ngurus negara bukan mengurus “cleaning service” di Gereja atau Masjid. Ini sekedar contoh.

Fatwa MUI Jawa Timur yang melarang mengucapkan selamat Natal dinilai sebagai ijtihad ulama untuk melindungi umat. Fatwa ini mesti dihargai. MUI Pusat yang komandannya masih KH Ma’ruf Amin “hanya” mampu menfatwakan larangan mengikuti ritual. Mungkin karena “gaul politik” dan kualitas iman yang berbeda. Kita terima saja lembaga umat berpendirian sebagaimana adanya. Toh umat yang sadar akan memilih jalan yang paling selamat.

0 Komentar