Pilkades dan Dendam Politik*

Pilkades dan Dendam Politik*
0 Komentar

Pilkades, merupakan pesta demokrasi bawah, tapi memiliki isu sangat dalam, pelik dan tajam. Pernyataan ini dapat kita lihat dari indikator yang terjadi sebelum dan sesudah pemilihan kepala desa. Kalau ditingkat atas ada prinsip tidak ada permusuhan yang abadi dalam politik, yang ada adalah kepentingan yang abadi. Kondisi ini justru berbeda pada konstalasi pemilihan kepala desa. Permusuhan bisa terjadi dengan membawa-bawa keturunan, bahkan dampak permusuhan pilkades lama bisa dibawa ke pilkades yang baru. Bayangkan, satu priode permusuhan tidak selesai dan disambung pada episode berikutnya.

Permusuhan diranah pendukung merupakan sesuatu yang wajar. Yang tidak wajar adalah ketika seorang kepala desa yang terpilih memperlihatkan dendam politik kepada masyarakat tertentu yang ia anggap waktu pesta demokrasi mendukung pasangan yang kalah. Pada pragmen di awal tulisan ini sebagai ilustari, dimana pemerataan pembangunan desa hanya tulisan diatas spanduk, actionnya kepala desa memperlihatkan diskriminasi melalui program pembangunan. Ia lupa bahwa setelah terpilih, yang mendukung dan yang tidak mendukung merupakan masyarakatnya.

Kondisi seperti diatas akan lebih parah pada hasil pilkades serempak yang akan dilaksanakan pada hari rabu tanggal 5 Desember 2018. Argumentasi ini cukup beralasan jika kita cermati bersama Peraturan Bupati Subang Nomor : 75 Tahun 2018 Tentang Tata Cara Pemilihan Kepala Desa Serentak. Dimana pada Pasal 55 ayat 1 Tempat Pemungutan Suara (TPS) ditetapkan oleh panitia Pemilihan Kepala Desa bersama BPD dan Pemerintah Desa sejumlah dusun yang ada di desa bersangkutan dengan lokasi di satu tempat.

Baca Juga:Grand Opening Tokma PamanukanKedai Panggung Sajikan Aroma Kopi Pilihan

Tafsiran ayat diatas akan lebih jelas dan detail dengan adanya form model O-2 (ukuran besar). Bahwa tempat pemungutan suara (TPS), dilanjut dengan penghitungan suara, dan dilampirkan hasilnya dalam berita acara dihitung perdusun (kadus). Satu kadus terdiri bisa satu, atau dua RW. Itu artinya siapapun kepala desa yang terpilih, akan tahu dan dicatat dalam memori ingatannya, dusun mana yang mendukung dan yang tidak mendukung. Inilah yang saya maksud, bahwa pada situasi tertentu melalui berbagai kebijakan Kepala Desa akan memperlihatkan dendam politik pada dusun tertentu yang tidak mendukungnya.

0 Komentar