Teguh Iman

Teguh Iman
0 Komentar

Ia siap dihinakan di St Andrew. Misalnya ditolak. Pun ia siap jadi pegawai magang paling rendah sekali pun. “Saya sadar, sebagai orang Asia mungkin sulit diterima di sana,” katanya.

Dengan kerendahan hatinya yang paling rendah Robert akhirnya diterima. Ia magang selama sebulan.

Ia belajar amat keras. Sampai hafal warna daun rumput saat berumur tiga hari. Hafal juga kapan rumput harus dipotong. Kapan harus dipupuk.

Baca Juga:TNI Jaga Keamanan dan Nilai Pancasila, Berharap Kondisi Bangsa Kembali KondusifLPM Jangan Hanya Bangun Fisik

Kalau lagi bercerita soal magangnya itu, Robert sampai menititikkan air mata.

Pun selama menunggu saya operasi di tahun 2006. Di RS Tianjin, Tiongkok. Robert sering menceritakan itu.

Enam bulan kami di rumah sakit itu. Robert-lah yang urus dokter, kebersihan kamar sampai mengepel sendiri toilet saya. Ia kurang percaya kebersihan apa pun –khas orang Singapura.

Dari Robert-lah saya tahu banyak tentang golf. Majalah yang ia bawa selalu tentang golf.

Suatu saat saya meminjam majalahnya itu. Ia kaget.

“Syukurlah. Anda sudah mulai tertarik golf,” katanya. Sambil menyerahkan majalah golf terbarunya.

“Bukan mulai tertarik,” jawab saya. “Dengan membaca majalah golf siapa tahu saya bisa cepat tidur”.

Ia sewot. Lalu tertawa.

“Sudah beberapa tahun saya selalu cerita mengenai golf pada Anda. Anda tidak mau juga main golf. Iman Anda ini teguh sekali,” katanya.

Baca Juga:Banyak Penderita HIV AIDS Enggan Minum Obat AVRPT Pupuk Kujang Selenggarakan “Kujang Plogging Day”

Padahal cerita golfnya selalu menarik. Belum ada orang bisa bercerita mengenai asyiknya golf melebihi Robert Lai.

Golf itu, katanya, melebihi olahraga apa pun. “Anda kan suka sepak bola. Di seluruh dunia lapangan sepak bola itu sama,” katanya.

Demikian juga tenis. Pingpong. Sebutlah apa saja selain golf. Semuanya sama.

“Golf itu menarik. Tidak ada lapangan golf yang sama. Beda tempat, beda desain. Beda tantangan,” katanya. “Ibarat Anda punya 100 pacar, tidak ada yang rasanya sama,” guraunya.

Kegilaannya pada golf membuat saya punya topi golf. Setiap hilang, Robert menghadiahkan lagi yang lain. Waktu di Jepang saya disalami banyak orang. Gara-gara topi itu. Saya pun ditanya: handicap saya berapa.

Suatu hari saya naik mobil dari Atlanta ke Columbia –kota terbesar di South Carolina, Amerika. Saya yang nyetir. John Mohn duduk di sebelah saya. Robert Lai dan istri duduk di belakang.

0 Komentar