TOA

Kang Marbawi
0 Komentar

Pojokan 87

Orang Indonesia mengenal TOA atau Time of Arrival sebagai pengeras suara berbentuk tudung berpipa, bak tusuk sate di tengahnya. Seperti corong berbentuk “aseupan” -bahasa sunda, untuk menanak nasi, yang terbuat dari logam dengan rumbai-rumbai kabel seperti usus.

Bertengger di menara, di atas genteng masjid atau mushola. Kadang nangkring dipucuk sebatang bambu sebagai tiangnya. Tak lupa penutup dari seng untuk melindungi TOA dari guyuran hujan atau panas terik matahari.

Era 80-90 an, TOA -ditemukan tahun 1630-an oleh Pastor Athanasius Kircher, SJ, rohaniawan Jesuit asal Jerman, hadir untuk berbagai keperluan masyarakat.

Baca Juga:Berorientasi Ramah Lingkungan, Pembiayaan BRI Pada Sektor Renewable Energy Tumbuh 19.1%Kominfo: Sinergi dan Keterlibatan Masyarakat Sukseskan Agenda Presidensi G20

Mulai urusan agama hingga hajatan atau keramaian 17 agustusan. Bentuknya seperti terompet raksasa berwarna biru dan “bersarang” di atap musolah, masjid atau tiang bamboo. Generasi kelahiran 80-an, familiar dengan TOA. Kejayaannya tenggelam, kala muncul speaker active yang lebih simple, ringan dan portable. Walau tetap masih “berkuasa” di puncak mushola atau masjid. TOA –dikembangkan Tsunetaro Nakatani tahun 1934, orang Jepang ini mendirikan TOA Electronik Manufacturing Company. Bagi pengurus tempat ibadah, TOA adalah medium untuk menyeru! Juga Syiar! Tak salah!

Tahun 80-an, TOA dijadikan bagian dari “debedugisasi” oleh penguasa Orde Baru. TOA dijadikan senjata “Speakerisasi” untuk melibas kaum tradisional yang menggunakan bedug -warisan dari Laksamana Cheng Ho. Speakerisasi atau debedugisasi ini pun diamini penguasa dan ditasbihkan dengan Intruksi Presiden (Inpres) No 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat China.

Tak seluruhnya berhasil. Masjid atau mushola tetap menggunakan bedug dan mengadopsi TOA untuk menyeru! Entah menyeru jamaah atau TUHAN. Tak peduli, tetap nyaring. Walau disamping ada yang sakit gigi atau bayi yang butuh keheningan untuk mengenang kedekatannya dengan Tuhan kala dalam haribaan rahim bunda. Kadang TOA hanya penyalur suara dari kaset atau spotify, sementara orangnya tetap lelap tidur. Ini yang diprotes KH Abdurahman Wahid alias Gus Dur, dalam tulisannya di Majalah Tempo, 20 Februari 1982, “Islam Kaset dan Kebisingannya”.

Tak sampai disitu, Gus Dur pun melempar kritik satir. Dialog rohaniawan dari berbagai agama dengan Gus Dur”, menunjukkan sebuah kritik terhadap ritual beragama yang kadang tak ramah lingkungan atau nir kepekaan. Joke Gus Dur menyentil, ritual beragama harus tetap memerhatikan etika dan kepentingan publik yang lebih besar. Tak meninggalkan residu, juga tak berlebihan. Joke Gus Dur juga menegaskan tafsir Surat Al-Qaaf:16, “Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya”.

0 Komentar