313 Ahmadiyah

313 Ahmadiyah
0 Komentar

Saya sempat salat Jumat di masjid Ahmadiyah dekat Wimbledon. Yang tertua di sekitar London.

Berkat 313 orang itulah pusat Ahmadiyah di Qadian bertahan sampai sekarang. Saya pun tidak menyangka ada 30 orang Indonesia belajar di sini.

Untuk ke Desa Qadian saya harus melakukan perjalanan 35 km. Dari hotel saya di pusat kota suci agama Sikh Amritsar –ke arah luar kota.

Baca Juga:Serap Aspirasi, 50 Anggota DPRD Gelar ResesBumbu Dapur Instan Penyumbang Sampah?

Setelah tiba di satu kota kecamatan saya harus benar-benar masuk desa. Lewat jalan kecil yang meliuk-liuk di tengah sawah.

Dari sawah ini terlihat pagar tembok panjang sekali. Dari bentuk temboknya saya pikir di baliknya ada situs sejarah kuno.

Sopir saya tidak tahu bangunan apa di balik pagar panjang itu.

Ternyata kami berbelok ke arah pagar itu. Google Map justru mengarahkan kami ke situ.

Di balik pagar itulah kampung Ahmadiyah.

Ups… Salah.

Di balik pagar itulah makam pendiri Ahmadiyah –Mirza Ghulam Ahmad.

Untuk memasuki pagar ini kami harus melewati pos pemeriksaan. Harus pula ada izin dari pengurus.

Saya pun berjalan kaki sekitar 200 meter. Ke kampung dekat makam itu.

Saya dipersilakan masuk ke salah satu bangunan di situ. Oh… Kantor Ahmadiyah. Yang dari depan terlihat kecil. Di dalamnya ternyata ruang besar.

Baca Juga:Anggota Bhayangkari Subang Raih Penghargaan UMKM JUARA se-Jawa BaratBuruh Panik, Ular Kobra Masuk PT Taekwang

Saya diminta masuk ke ruang yang lebih dalam lagi. Juga besar. Dengan kursi-kursi tamu yang banyak.

Di situlah saya ditemui ustadz muda asal Uttar Pradesh. Ramah dan cerdas. Ia kelihatan ingin menjelaskan panjang lebar apa itu Ahmadiyah.

“Saya sudah tahu itu. Saya ingin tahu soal lain,” sela saya.

Ia tidak tersinggung oleh selaan saya itu. “Saya hanya punya waktu setengah jam di sini. Maafkan,” kata saya.

“Alhamdulillah kalau sudah tahu Ahmadiyah,” katanya.

“Saya pernah salat Jumat di masjid Ahmadiyah di London,” kata saya.

Ia kian ramah.

“Maukah bertemu orang yang asal Indonesia di sini?” katanya.

“Lho, ada? Mau sekali.”

Ia pun merogoh saku baju panjang khas Indianya –ambil ponsel. Bicara-bicara.

“Lima menit lagi ia bisa tiba di sini,” katanya.

0 Komentar