Debat

Kang Marbawi
0 Komentar

Komodifikasi polemik tak sehat, mengajarkan masyarakat, untuk tak bersua pandangan. Menguatkan polarisasi berbalut identitas sosial, politik bahkan agama. Komodifikasi polemik, memojokkan musyawarah di sudut gelap. Sengaja ditutupi kepentingan kelompok atau individu. Musyawarah hanya laku di lingkungan Rukun Tangga.

Permusyawaratan pun hanya menjadi ajang kontestasi kepentingan. Esensi musyawarah menggelinding bersama barter kepentingan kelompok atau individu. Bukan untuk kepentingan rakyat. Walau rakyat sering dijadikan tameng. Entah tameng siapa dan rakyat yang mana!

Jauh dari pepatah minang atau daerah lainnya. “Nah tuah cari sapakaik, nak cilako bueklah silang”. Pepatah Minang ini menjelaskan, untuk senantiasa bersatu padu, terutama dalam memecahkan masalah yang ada. Bercerai hanya akan mendatangkan perpecahan dan kekacauan.

Baca Juga:KIB Komitmen Menangkan Capres di DaerahPKB Siapkan Penjaringan Balon Bupati Subang, Berikut Jadwalnya

Sejatinya, sebagai homosapiens, manusia adalah makhluk sosial. Dimanapun, kapanpun, manusia pasti membutuhkan komunikasi dengan sesamanya. Entah dengan cara apa. Sayangnya cara komunikasi tersebut, terlumuri dan dilumuri post truht dan simulacra. Hingga hilang kewarasan berpikir, nalar kritis dan empati kesantunan. Yang ada adalah kegenitan self esteem yang tumpul nurani dan kesantunan. Sibuk dan asyik dengan dirinya sendiri. Tak memandang kepentingan lain. Musyawarah membutuhkan kerendahan hati untuk mau mendengarkan, melihat perspektif lain. Mendialogkan dua pandangan untuk mencari irisan titik temu. Titik temu yang sama dalam tujuan bersama. Tujuan yang besar untuk kepentingan bersama. Bukan untuk kepentingan sendiri atau kelompok. (*)

OLEH: Kang Marbawi

Laman:

1 2
0 Komentar