Hari Tani dan Ironi Kedaulatan Pangan

Hari Tani dan Ironi Kedaulatan Pangan
0 Komentar

Pada dasarnya, ada lima persoalan mendasar yang perlu mendapat perhatian serius dari para pengambil kebijakan di tingkat pusat maupun daerah. Pertama, menurunnya kuantitas dan kualitas lahan pertanian. Penggunaan pupuk anorganik yang berlebihan dan cukup lama nyatanya berdampak kurang baik terhadap kesuburan lahan. Selain itu alih fungsi lahan yang tidak terkontrol pun menjadi persoalan yang hingga detik ini belum dapat diselesaikan. Kondisi tersebut tentunya berpengaruh terhadap menurunnya hasil produksi pertanian. Berdasarkan data yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2011 lalu, produksi Gabah Kering Giling (GKG) hanya mencapai 65,76 juta ton, lebih rendah 1,07 pesen dari tahun sebelumnya. Sementara produksi jagung berkisar 17,64 juta ton atau menurun 5,99 persen dari tahun sebelumnya. Adapun produksi kedelai mencapai 851,29 ribu ton atau 4,08 persen lebih rendah dari tahun sebelumnya. Kondisi semacam ini tentunya menjadi sebuah ironi di tengah semakin bertambahnya jumlah penduduk Indonesia dari waktu ke waktu.

Kedua, terbatasnya ketersediaan infrastruktur penunjang. Dari jumlah total area persawahan di Indonesia yaitu 7.230.183 ha, sebanyak 11 persennya (797,971 ha) berasal dari waduk.  Namun, laporan dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menunjukkan, sebanyak 42 waduk saat ini tengah dalam kondisi waspada akibat berkurangnya pasokan air selama musim kemarau. Sedangkan 10 waduk telah benar – benar kering karena tidak adanya pasokan air sama sekali. Artinya, hanya 19 waduk saja yang masih berfungsi secara normal. Adapun rendahnya kesadaran para pemangku kebijakan di tingkat daerah untuk mempertahankan lahan pertanian produktif menjadi salah satu penyebab rusaknya infrastruktur penunjang pertanian. Kondisi semacam ini tentunya menjadi persoalan serius bagi kehidupan para petani di masa yang akan datang dan akan berdampak buruk bagi kehidupan masyarakat luas mengingat produksi pangan sebagai kebutuhan dasar manusia.

Ketiga, adanya kelemahan dalam sistem alih tekonologi. Karakteristik utama dari pertanian modern sesungguhnya dapat dilihat dari produktivitasnya, efisiensi, mutu serta kontinuitasnya yang terus terpelihara dan cenderung mengalami peningkatan. Untuk dapat melakukan penetrasi ke pasar dunia, komoditi pangan seperti hasil pertanian, perkebunan, peternakan dan perikanan haruslah memiliki kualitas tinggi dan dikemas sesuai dengan standar yang ditetapkan. Produk – produk dengan kualitas tinggi tersebut tentunya hanya dapat dihasilkan melalui sebuah proses yang menggunakan teknologi tinggi pula. Sayangnya, di tengah ketatnya persaingan  memperebutkan konsumen di tingkat dunia, Indonesia justru belum mampu berbuat banyak. Hal ini antara lain disebabkan kondisi pertanian di negara sumber teknologi tersebut berasal relatif berbeda dengan kondisi lahan pertanian di negara kita. Oleh karena itu, perlu adanya pengembangan lebih lanjut serta modifikasi sesuai kebutuhan kebutuhan di lapangan agar alih teknologi tersebut dapat benar – benar diterapkan dalam sistem pertanian kita.

0 Komentar