Bendungan Cijengkol, Bendungan Kehidupan Masyarakat Pantura

Bendungan Cijengkol, Bendungan Kehidupan Masyarakat Pantura
VITAL: Pintu air Bendungan Cijengkol menjadi titik vital yang dilematis bagi warga Pantura. INDRAWAN SETIADI/PASUNDAN EKSPRES
0 Komentar

Bendungan Jengkol, sebuah pintu air yang lokasinya di Desa Sukamandi Jaya Kecamatan Ciasem Subang Jawa Barat. Pintu air Cijengkol membendung aliran sungai Cijengkol untuk kemudian dibagi guna kepentingan pertanian, dan sebagai langkah antisipasi untuk meminimalisir banjir di wilayah tersebut.

Ciasem adalah salah satu Kecamatan di Kabupaten Subang, terdapat di pesisir utara (Pantura) Jawa Barat, sebagai salah satu Kecamatan terluas dengan jumlah penduduk terbesar di Subang, dengan dominasi penduduk yang berprofesi sebagai petani. Irigasi atau pengairan sawah, keberadaannya menjadi sangat penting, terlebih lahan pesawahan di sana adalah lahan teknis, yang tergolong dalam sawah dengan kualitas terbaik.

Keberadaan kali Ciasem, sebagai salah satu sungai utama di wilayah Subang, yang dikenal memiliki pintu air atau bendungan, yakni bendungan Jengkol di Sukamandi Jaya. Didapati dari berbagai sumber, sebagian besar area pesawahan Pantura termasuk Ciasem mulai berkembang saat ekspedisi Mataram Islam ke Batavia pada perang jawa 1, antara tahun 1628-1629.
Pasundan Ekspres mencoba menelusuri seluk beluk Bendungan Cijengkol dengan bertemu salah satu tokoh masyarakat, Suhenda (63). Suhenda mengatakan, sebagaian prajurit Mataram yang enggan kembali setelah perang melawan Belanda, kemudian membuka lahan pertanian.

“Mereka membabad hutan dan rawa-rawa untuk membuka pesawahan, cerita Kakek saya dulu itu begitu. Untuk memenuhi pengairannya, maka dibangunlah bendungan tersebut,” jelasnya.
Dia tidak mengetahui percis sejak kapan bendungan tersebut dibangun. Dia hanya menyebut seingatnya sekitar tahun 70an. Bendungan tersebut, kata Suhenda merupakan bendungan kehidupan bagi masyarakat di sana. Sebab, mayoritas masyarakat sangat ketergantungan aliran air dari sana untuk sawah-sawahya. Kemudian sekarang dikelola Perum Jasa Tirta II Unit Usaha Wilayah III.

“Sebagian dari prajurit Mataram itu, juga menikahi penduduk lokal, hingga melahirkan budaya Jawa-Sunda,” katanya.
Pada saat-saat tertentu, bendungan ini cukup ramai, lantaran kerap dimanfaatkan warga untuk bersantai. Tak sedikit pula para pengendara yang sengaja menepi, termasuk para pemancing ikan.

0 Komentar