Cerita Pengusaha Kuliner Bertahan Melawan Covid-19

pengusaha kuliner
BERTAHAN: Ida Sudayat (mengenakan topi laken) saat ditemui di salah satu rumah makannya, Watung Soto Kakang Prabu. INDRAWAN SETIADI/PASUNDAN EKSPRES
0 Komentar

Berlakukan Sistem Aplusan dan Perbaiki Niat Usaha

Bagi pelaku usaha, tahun 2020 merupakan tahun yang berat, terlebih bagi mereka yang bergerak di dunia usaha kuliner. Pandemi Covid 19, mengugurkan harapan mereka meraih omset lebih saat memasuki bulan puasa. Sebab, bulan puasa dianggap sebagai bulan “panen” bagi pengusaha kuliner.

LAPORAN: INDRAWAN SETIADI, Subang

Merumahkan beberapa karyawan adalah pilihan sulit bagi beberapa pengusaha, namun mereka terpaksa harus lakukan hal itu. Lebih parahnya beberapa pengusaha memilih stop usahanya, alias tidak mampu bertahan. Lalu bagaimana upaya bertahan dari para pebisnis kuliner di Kabupaten Subang dari serangan Covid-19?

Pasundan Ekspres mendatangi salah satu pengusaha kuliner. Hingga saat ini tercatat sekitar 9 rumah makannya tersebar di seluruh Subang. Dua diantaranya ada di sekitar Sukamelang, dekat dengan pintu exit Tol Cipali. Dia pemilik Warung Sate Si Om, dan Warung Soto Kakang Prabu, Ida Sudayat.

Baca Juga:Awal Tahun, Jumlah Penduduk Provinsi Jawa Barat Diprediksi 50 JutaLucian K. Truscott

Rupanya Ida sudah menunggu di salah satu meja di Warung Soto Kakang Prabu. Celana pangsi dan kaos oblong, lengkap dengan topi laken, dikenakan Ida. Entah bagaimana awalnya, Ida mulai menceritakan bagaimana dia harus memikirkan 30 karyawan hanya dari satu rumah makannya saja, yaitu Warung Sate Si Om.

“Saya punya prinsip sejak awal, yang bekerja harus benar-benar mereka yang membutuhkan pekerjaan. Makanya di setiap rumah makan saya jarang ada tenaga ahli, mereka semua sama berangkat dari nol, belajar,” ungkapnya.

Pemasukan drop bahkan hingga 80 persen

Maka ketika serangan Covid 19 sedang gencar-gencarnya, serta diberlakukan PSBB dia mulai kelimpungan. Karyawannya tidak mungkin dia berhentikan, karena sejak awal dia sudah komitmen untuk membantu mereka (para karyawan). Rp10 juta dalam seminggu harus dia rogoh untuk menggaji karyawan, sedangkan pemasukan drop bahkan hingga 80 persen. “Jadi ketika itu saya berlakukan sistem aplusan atau giliran, seminggu hanya lima orang yang kerja, sisanya nunggu giliran,” tambah Ida.

Tidak terasa sudah hampir 2 jam rupanya kami berbincang. Saat itu Ida mulai memasuki pembicaraan saat sekarang. Usahanya mulai pulih meski sedikit demi sedikit, seiring sejalan dengan Covid-19, yang mulai agak landai kasusnya di Kabupaten Subang. Dia bercerita, bahwa saat ini dari 30 karyawannya, 17 diantaranya sudah bisa normal kembali bekerja.

0 Komentar