Paradoks Memaknai Realita, Menandai Psikolinguistik Publik

Paradoks Memaknai Realita, Menandai Psikolinguistik Publik
Elang Ki Maung
0 Komentar

SUBANG-Relita adalah realita, kenyataan tidak bisa direduksi dari satu sisi saja, entah itu sisi positif atau negatifnya. Orang yang hanya membicarakan realita sebagai wacana yang selalu positif adalah orang yang munafik. Tentu yang mereka lakukan adalah demi kepentingan. Hal itu diungkapkan Elang Ki Maung kepada Pasundan Ekspres, kemarin.

Menurutnya, realita adalah ruang yang penuh dengan problem, mulai yang sederhana hingga yang paling kompleks yang susah dipecahkan. “Kita tidak bisa hanya melihat realita sebagai hal-hal yang indah dan menyenangkan saja, yang seperti ini tak ubahnya dengan hanya impian. Impian yang mengafirmasi realita sekitar dengan hal-hal positif sesuai kehendak berpikir kita sebagai subjek. Juga menjadi ketertinggalan bagi orang-orang yang menganggap realita sebagai ruang kejam yang menakutkan yang didalamnya terdapat problem yang rumit dan tak terpecahkan,” ungkapnya.

Menurutnya, realita adalah panggung kebaikan dan keburukan, bahkan melampaui semua itu. Di dalam realita ada cinta, ada benci, ada kemarahan dan ada kasih sayang. “Panggung realita disediakan bagi manusia dengan berbagai kemungkinan alam pikirnya. Realita akan menjadi realita ketika kita mencerdasinya. Menjadi cerdas adalah keputusan eksistensialis manusia,” jelasnya.

Baca Juga:Warga Pesona Ciseureuh II Peduli Sesama, Susuri Sudut Kota Bagikan Sembako Gratis100 Persen Pasien Positif Covid-19 Sembuh di Hari Raya Idul Fitri

Dia menjelaskan tidak ada yang berhak menjustifikasi seseorang dalam pilihannya. Justifikasi itu adalah konstruksi sosial dari masyarakat yang terbiasa dengan kewajaran, kewajaran tentang gaya hidup dan gaya berpikir. “Realita menyediakan tempat bagi semua jenis orang dengan semua jenis gaya berpikir. Semuanya disediakan tempat oleh realita,” ujarnya.

Hanya saja, kata dia, para pendobrak realita sering kali tidak muncul dari kalangan orang kebanyakan yang hidup dengan penuh kewajaran. Pendobrak kebenaran dalam realita senantiasa unik dan berpikir dengan cara yang tidak wajar, sebuah cara yang tidak dimiliki orang kebanyakan. “Realita tidak bisa ditutup-tutupi dengan kalimat-kalimat motivasi. Premis motivasi tidak menunjukkan kebenaran, ia hanya mengarahkan pada kehendak tertentu. Menjadi kehendak kebaikan jika motivasi itu diarahkan untuk kebaikan, menjadi kehendak keburukan jika motivasi itu diarahkan untuk keburukan,” paparnya.

Lebih lanjut dia menjelaskan dunia sepenuhnya mengandung nilai kejujuran yang tidak bisa direduksi, namun juga tidak bisa dijelaskan apa adanya sebagai “das ding an sich” (meminjam istilah Kant). “Dunia selalu dinilai oleh manusia dengan cara berpikir mereka menghadapi realita. Cara pandang manusia terhadap dunia tidak bisa murni 100% benar sesuai apa yang ia lihat dan dilihat orang lain,” jelasnya.

0 Komentar