Sejarah Ruwatan Bumi di Kampung Adat Banceuy, Semua Hasil Bumi Bisa Manfaat dan Barokah

Sejarah Ruwatan Bumi di Kampung Adat Banceuy, Semua Hasil Bumi Bisa Manfaat dan Barokah
TUTUNGGULAN: Sejumlah ibu-ibu menumbuk padi secara bersama-sama sebagai salah satu prosesi ruwatan bumi di Kampung Adat Banceuy. INDRAWAN SETIADI/PASUNDAN EKSPRES
0 Komentar

Menjelang tahun baru islam 1 Muharram, bagi masyarakat Desa Sanca Kecamatan Ciater tepatnya warga kampung adat Banceuy yang sebelumnya adalah Kampung Negla, merupakan waktu yang ditunggu-tunggu untuk menyelenggarakan dadahut.

INDRAWAN SETIADI, Subang

Dadahut yang berarti persiapan, mulai dari persiapan, musyawarah, penggalangan dana, pembuatan aneka makanan, dan sebagainya untuk prosesi adat yang sudah sejak lama mereka lakukan yaitu ruwatan bumi.

Tidak mengenal usia, baik mereka yang muda maupun yang tua, laki-laki atau perempuan, bergotong royong bahu membahu mengerjakan keperluan untuk terselenggaranya ruwatan bumi tersebut sesuai dengan kemapuan dan keahlian mereka masing-masing. Dari mulai membuat aneka dekorasi kampung, hingga olahan makanan, sampai penggalangan dana.

Baca Juga:Prospek Kopi Arabika Gununghalu Potensial, Bisa Hidupkan 7.500 KeluargaButuh Rp3,5 Miliar untuk Tahap Awal, Pencairan Anggaran Pilkada Dibagi Tiga Tahap

Menurut T.Dibyo Harsono, Peneliti BPNB Jawa Barat, tradisi ngaruwat di kampung Banceuy sudah berlangsung sejak tahun 1800an. Ketika itu Kampung Negla diterpa bencana angin puting beliung dahsyat, yang menghancurkan rumah penduduk, menghilangkan ternak, juga kebun penduduk setempat. Sehingga untuk menangkal upaya bencana tersebut maka diadakanlah ngabanceuy, yaitu musyawarah para tokoh masyarakat.

“Ada 7 tokoh, yaitu Eyang Ito, Aki Leutik, Eyang Malim, Aki Alman, Eyang Ono, Aki Uti, dan Aki Arsiam. Sesuai kesepakatan 7 tokoh tersebut mendatangkan paranormal atau seorang dukun yang dipercaya dari Kampung Cipiuh Desa Pasangrahan, sekarang Kasomalang, yaitu Eyang Suhab. Mulanya sejak itu, diadakan ritual numbal, untuk menangkal bencana tersebut datang kembali dikemudian hari. Kemudian terkait nama Kampung, yang tadinya Negla itu diganti disesuaikan berdasarkan hitungan Jawa atau Wuku, menjadi Banceuy,” jelas Dibyo.

Menurut T.Dibyo Harsono juga, nama Negla diyakini sebagai penyebab dari datangnya bencana terhadap kampung dan penduduknya tersebut, sehingga para tokoh kampung sepakat menggantinya dan menggunakan kata banceuy yang berarti musyawarah, dengan harapan supaya kampung tersebut bisa dijadikan tempat berkumpul dan dijadikan tempat bertukar pikiran pada saat itu.

“Bermula dari situ, akhirnya peristiwa itu diperingati setiap tahun dan dikenal dengan dengan istilah ruwatan bumi atau ngaruwat bumi,” tambahnya.

Ruwatan dijelaskan T.Dibyo, berasal dari rawat, atau ngarawat dalam bahasa sunda, yang memiliki arti merawat. Ruwatan bumi Kampung Banceuy dilaksanakan setiap hari Rabu akhir bulan Rayagung atau atau bulan Dzulhijah, menjelang juga menyambut tahun baru islam. Pada tahun ini bertepatan dengan hari Rabu, (28/8) lalu.

0 Komentar