Ketika Demokrasi Melarang Demonstrasi

Ketika Demokrasi Melarang Demonstrasi
0 Komentar

Tidak Sesuai dengan UUD 1945
Nafas dari demokrasi adalah demonstrasi, jadi tentu saja demokrasi di dalam suatu negara tidak akan hidup, apabila tidak ada demonstrasi yang dilakukan oleh warga negaranya. Namun apabila pemerintah yang ada di dalam negara tersebut tidak mau di demo oleh warga negaranya, maka pemerintah harus selalu membuat kebijakan yang pro rakyat, bukan kebijakan yang menyusahkan rakyatnya. Demonstrasi dilakukan untuk memberikan kritik beserta aspirasi, agar pemerintah mau mengubah kebijakan yang selama ini tidak pro rakyat. Namun demikian, yang dilakukan oleh Menristekdikti tentu sangat tidak bisa diterima begitu saja, karena tindakan yang dilakukan oleh Menristekdikti yang melarang agar mahasiswa tidak melakukan unjuk rasa sangat tidak sesuai dengan Undang-undang Dasar 1945.

Menurut pasal 28E ayat 3 Undang-undang Dasar 1945, setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Dari pasal tersebut, tentu saja ada kebebasan untuk mengeluarkan pendapat, yang pastinya bisa dilakukan oleh siapapun, dan dalam bentuk apapun itu, salah satunya adalah dengan melakukan demonstrasi. Jadi pada intinya, tindakan yang dilakukan oleh Menristekdikti yang akan memberikan sanksi kepada rektor, apabila rektor memberikan izin kepada mahasiswa untuk melakukan unjuk rasa merupakan tindakan yang tidak sesuai dengan Undang-undang Dasar 1945.

Maka dari itu, hal ini patut untuk kita pertanyakan, karena demonstrasi yang ada di dalam negara demokrasi itu adalah sebuah kewajaran, namun apabila demonstrasi itu ada di dalam negara yang totaliter, maka tentu saja tidak akan menjadi hal yang wajar. Lantas apakah negara kita masih menganut sistem politik demokrasi, atau bahkan negara kita sudah pindah haluan, menuju negara yang menganut sistem politik totaliter?

Baca Juga:Unsika Rilis Mesin Penghancur Kulit RajunganDarurat Ekologis, Pegiat Lingkungan Hidup Gelar Aksi Damai

Bersikap Provisionalisme
Bersikap provisional artinya bersikap tentatif dan berpikiran terbuka serta bersedia mendengar pandangan yang berlawanan dan bersedia mengubah posisi jika keadaan mengharuskan. Provisionalisme seperti itulah, bukan keyakinan yang tak tergoyahkan, yang membantu menciptakan suasana mendukung (suportif) (Devito, 2011: 289). Provosionalisme seharusnya bisa diterapkan oleh Menristekdikti, karena provisionalisme merupakan ciri khas yang selalu melekat dalam dalam darah daging dari demokrasi itu sendiri. Seharusnya Menristekdikti bisa terbuka terhadap pandangan yang berbeda, dan Menristekdikti tidak sepatutnya memberikan larangan kepada para mahasiswa agar tidak melakukan unjuk rasa.

0 Komentar