Membumikan Literasi Membaca di Sekolah

Membumikan Literasi Membaca di Sekolah
0 Komentar

\
Padahal, pada era Algemeene Middlebare School (AMS) Hindia Belanda, selama belajar di sana siswa diwajibkan membaca 15-25 judul buku sastra. Jika dibandingkan dengan sekarang, bukankah pencapaian kemampuan membaca siswa baik nonsastra maupun sastra kian merosot? Bagaimana cara kita memperbaiki masalah membaca ini?

Tanggung Jawab Sekolah

Berhubung minat membaca generasi muda (baca: pelajar) belum tinggi, diperlukan langkah konkret dari pihak sekolah sebagai lingkungan yang cukup berpengaruh bagi siswa. Selama ini, realita membuktikan bahwa sekolah seolah setengah hati untuk merealisasikan GLN di sekolah.

Perlu diberi perhatian serius terkait literasi ini. Oleh karena itu, perpustakaan sekolah sama pentingnya dengan ruang belajar dan mendapat perhatian lebih dibandingkan dengan laboratorium komputer, fisika, dll. Mengingat teknologi yang semakin canggih, membutuhkan biaya besar dan faktor pendukung lainnya yang memadai untuk tetap menjadi sekolah yang baik. Meski demikian, tidak ada salahnya jika sekolah tetap fokus kepada hal-hal yang terjangkau: perpustakaan sekolah.

Baca Juga:Camat Pusakanagara serta Danramil Beri Kejutan Kapolsek PusakanagaraTernak Tikus untuk Pakan Ular

Pihak sekolah memang belum menganggap literasi ini sebagai sebuah kebutuhan. Buktinya? Perpustakaan sekolah diwajibkan harus ada. Cukupkah hanya pengadaan perpus? Tentu tidak. Diperlukan tenaga perpustakaan atau pustakawan yang sesuai dengan kualifikasi pendidikan atau setidaknya profesional. Di sekolah, bisa kita perhatikan tenaga perpus yang tidak sesuai dengan kualifikasi. Pustakawan di sekolah bukanlah lulusan Ilmu Perpustakaan dari universitas atau profesional yang sengaja di-training.

Apa yang perlu dilakukan? Fasilitas perpustakaan yang memadai. Kozol (dalam Trelease, 2017:198), ”Tidak ada bentuk kejahatan yang lebih membahayakan bagi anak-anak di kota selain tidak adanya perpustakaan sekolah yang memadai.”

Seyogianya, pustakawan berada di barisan terdepan untuk membumikan GLN di sekolah. Merekalah yang menginisiasi segala hal yang berbau literasi. Contoh konkretnya mendesain perpustakaan dengan baik sekalipun dengan dana yang memadai. Biasanya, buku-buku disusun dalam rak dengan posisi tegak. Alangkah lebih baik, jika kover buku mudah dijangkau mata sehingga langsung nampak dengan jelas identitas buku.

Pengajuan program hari baca sekolah (zona lokal) tentunya tidak kalah menarik untuk menumbuhkan minat baca siswa. Kerjasama yang baik dengan pengelola akademik di sekolah begitu diperlukan. Selain itu, ketika penerimaan siswa baru apalagi jika masih manual atau face to face, tak ada salahnya jika kepada siswa diperkenalkan tentang literasi oleh pustakawan atau panitia terkait.

0 Komentar