Oleh: Dony Purnomo, S.Pd
Guru Geografi SMAN 1 Purwantoro
Kejadian perundungan merupakan salah satu dari tiga dosa besar dalam dunia pendidikan. Bahayanya yang terjadi di Indonesia kejadian ini justru banyak terjadi di sekolah dasar yaitu 25%, SMK/SMK sama-sama mendapatkan presentase 18,75%, serta lingkungan Tsanawiyah dan pesantren sama-sama sebesar 6,25%. Berdasarkan data dari Federasi Serikat Guru Indonesia yang dirilis katadata.co.id menyatakan bahwa kasus perundungan di sekolah sebagian besar terjadi di sekolah dasar.
Berdasarkan data yang dihimpun FSGI mulai awal tahun hingga pertengahan tahun 2023 terdapat 43 korban perundungan yang terdiri dari 42 peserta didik dan 2 orang guru. Fenomena ini mengkhawatirkan sekaligus memperihatinkan, karena sekolah yang diharapkan sebagai institusi moral justru menjadi tempat yang menyemai benih-benih perundungan.
Kasus yang baru-baru ini hangat diperbincangkan adalah kejadian siswi SD yang mengalami kebutaan karena diduga mengalami perundungan oleh teman sekolahnya. Seperti yang diberitakan oleh detik.com bahwa siswi berinisial SAH mengalami kebutaan karena mata kanannya dicolok pakai tusuk bakso. Awalnya korban dipalak namun tak diberi uang jajanya kemudian terjadilan tindak kekerasan yang diduga dilakukan oleh kakak kelasnya.
Kejadian ini merupakan salah satu potret kecil kejadian perundungan yang terjadi di sekolah dasar. Anak-anak di sekolah dasar rentan terhadap perundungan karena beberapa hal diantaranya;
Pertama, Tahap perkembangan. Anak-anak sekolah dasar sedang mengembangkan keterampilan sosial mereka dan belajar bagaimana berinteraksi dengan teman-teman sebaya. Mereka mungkin belum memiliki keterampilan sosial yang matang untuk mengatasi konflik dengan cara yang sehat.
Kedua, Keinginan untuk mencari persetujuan. Anak-anak pada usia ini cenderung ingin diterima dan disukai oleh teman-teman mereka. Ini bisa membuat mereka lebih rentan terhadap tekanan dari teman-teman mereka untuk melakukan atau menerima perilaku yang tidak sesuai.
Ketiga, Kekuatan fisik yang tidak seimbang. Anak-anak sekolah dasar memiliki perbedaan fisik yang signifikan dalam hal ukuran dan kekuatan. Ini dapat menciptakan ketidakseimbangan kekuasaan di antara anak-anak dan membuat beberapa anak menjadi target perundungan.
Keempat, Keterbatasan pengawasan. Anak-anak sekolah dasar sering kali belum cukup diawasi di luar sekolah, sehingga perundungan bisa terjadi di luar lingkungan sekolah.
Kelima, Kurangnya pemahaman. Beberapa anak mungkin belum sepenuhnya memahami dampak emosional dan psikologis dari perundungan, baik sebagai pelaku maupun korban.
Kejadian perundungan sebenarnya dapat dideteksi sejak dini. Terdapat beberapa tanda yang dapat untuk mendeteksi kejadian perundungan yang dialami oleh anak. Mengutip dari rs-amino.jatengprov.go.id setidaknya ada 10 tanda untuk mengenali anak jika mengalami perundungan yaitu;
Mengalami luka yang tak bisa dijelaskan, sering kehilangan barang-barang, barang-barangnya sering rusak, perubahan pola makan, muncul perilaku yang tidak biasa, sulit tidur dan sering mimpi buruk, prestasi sekolah turun, mogok sekolah, muncul perilaku destruktif, depresi dan cemas, dan rendah diri akut.
Adanya kejadian perundungan yang terjadi pada peserta didik ini memberikan dampak yang negatif pada perkembangan anak, lebih-lebih jika perundungan ini terjadi pada anak yang berada pada usia sekolah dasar. Mengutip dari halodoc.com terdapat beberapa dampak jika anak mengalami perundungan diantaranya;
Pertama, Kehilangan kepercayaan diri. Salah satu efek pertama yang dirasakan pada anak-anak dan remaja jika mereka di-bully adalah hilangnya kepercayaan diri. Mereka mulai merasa dirinya tidak sebaik orang yang menindas mereka, dan merasa tidak pantas untuk mencoba aktivitas tertentu.
Kedua, Meningkatnya self-criticism. Self-criticism atau kritik diri merupakan perilaku ketika anak mulai mengkritik atau berpikiran negatif tentang dirinya sendiri. Anak yang mengalami perundungan sering kali bersikap keras pada diri mereka.
Ketiga, Mulai mengisolasi diri. Anak-anak yang menjadi korban perundungan sering merasa sangat buruk terhadap diri mereka, sehingga mereka mencoba mengasingkan diri dari lingkungannya. Mereka mencoba untuk menghindari interaksi dengan teman sebaya, teman sekelas, atau anggota keluarga.
Keempat, Kesehatan mental yang buruk. Dampak negatif utama dari perundungan adalah menurunnya kesehatan mental.
Gangguan mental yang bisa ditimbulkan dari perundungan adalah gangguan kecemasan (anxiety), depresi, kesulitan untuk tidur, dan bahkan perilaku menyakiti diri sendiri (self-harm).
Kelima, Pikiran untuk bunuh diri. Fenomena perundungan dan tindakan percobaan bunuh diri memiliki kaitan yang erat. Bukan tanpa alasan, pasalnya banyak korban yang memutuskan untuk mengakhiri hidupnya karena tidak kuat mendapatkan perundungan terus-menerus.
Fenomena perundungan bukanlah hal yang baru dalam pendidikan di Indonesia. Namun, faktanya hingga kini belum dapat teratasi dengan baik. Mengingat begitu bahayanya dampak yang ditimbulkan oleh perundungan, maka diperlukan upaya untuk menaggulangi tindak perundungan di sekolah.
Mendeteksi perundungan di sekolah merupakan langkah awal yang penting dalam mengatasi masalah ini. Terkadang, perundungan dapat terjadi secara tersembunyi, dan anak-anak mungkin tidak selalu memberi tahu orang dewasa tentang pengalaman mereka. Beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk mendeteksi praktik perundungan di sekolah diantaranya;
Pertama, Perhatikan perubahan perilaku. Jika seorang anak tiba-tiba mengalami perubahan perilaku yang signifikan, seperti menjadi lebih tertutup, cemas, atau depresi, ini bisa menjadi tanda adanya perundungan. Mereka mungkin juga mulai menghindari sekolah atau aktivitas yang biasa mereka nikmati.
Kedua, Pantau kinerja akademik. Penurunan tiba-tiba dalam kinerja akademik anak dapat menjadi indikator perundungan. Pelaku perundungan seringkali mengganggu korban sehingga mereka sulit berkonsentrasi atau merasa takut untuk hadir di sekolah.
Ketiga, Perhatikan perubahan fisik. Cek apakah ada tanda-tanda fisik seperti memar, luka, atau barang-barang pribadi yang rusak yang tidak dapat dijelaskan dengan baik. Ini mungkin tanda-tanda kekerasan fisik atau perusakan properti akibat perundungan.
Keempat, Perhatikan perubahan sosial. Anak yang menjadi korban perundungan mungkin kehilangan teman atau mengalami isolasi sosial. Mereka mungkin tidak lagi menghabiskan waktu dengan teman-teman atau menarik diri dari interaksi sosial.
Kelima, Komunikasi terbuka. Dorong anak untuk berbicara tentang pengalaman mereka di sekolah. Buatlah lingkungan di mana mereka merasa nyaman untuk berbicara tentang masalah yang mereka hadapi tanpa takut mendapat hukuman atau konsekuensi.
Keenam, Lakukan wawancara dan observasi. Guru dan staf sekolah harus aktif dalam mendengarkan siswa dan mengamati interaksi mereka di sekolah. Tanyakan kepada siswa tentang pengalaman mereka dan perhatikan adanya konflik atau perilaku yang mencurigakan.
Ketujuh, Pantau media sosial. Perundungan sering kali melibatkan media sosial. Selidiki profil media sosial anak Anda dan perhatikan apakah ada pesan atau komentar yang merendahkan atau mengintimidasi.
Penting untuk menciptakan lingkungan sekolah yang aman, inklusif, dan mendukung bagi semua siswa. Upaya yang konsisten dari semua pihak akan membantu mengurangi perundungan di sekolah. Penting bagi orangtua, guru, dan staf sekolah untuk memahami masalah perundungan dan mengambil langkah-langkah untuk mencegahnya, mendeteksi tanda-tanda perundungan, dan memberikan dukungan kepada anak-anak yang menjadi korban.
Edukasi tentang keterampilan sosial, kampanye anti-perundungan, dan lingkungan sekolah yang mendukung serta inklusif dapat membantu mengurangi insiden perundungan di sekolah dasar.