Moderasi Beragama, Solusi atau Ancaman?

Moderasi Beragama, Solusi atau Ancaman?
0 Komentar

Akhir Oktober 2021, Kemenag menggelar Annual International Conference on Islamic Studies (AICIS) ke-20 sebagai miniatur kajian Islam Indonesia yang terbuka dan moderat dan meneguhkan komitmen untuk terus mengusung moderasi beragama sebagai ciri khas bangsa. Bahkan, Indonesia mengajak Arab Saudi untuk memperkuat moderasi beragama saat pertemuan G20 di Indonesia pada 2022 nanti.

Selain Kemenag, pengarusan moderasi beragama juga gencar oleh Kemendikbudristek. Langkah awal yang nyata adalah penghilangan frasa agama dalam Peta Jalan Pendidikan 2020—2035 pada bagian Visi 2035—yang diprotes berbagai pihak. Di hadapan Komisi X DPR RI, Menteri Nadiem Makarim menyatakan akan kembali memasukkan frasa tersebut karena banyak pihak menilai polemik frasa agama menjadi hal penting. Pernyataan tersebut seolah membenarkan rencana penghilangan frasa agama dalam peta jalan pendidikan. Peta jalan pendidikan ini tentu saja sangat strategis dalam mencetak generasi masa depan Indonesia, maka penghilangan frasa agama jelas akan membuat generasi kehilangan arah dalam kehidupannya.

Hal ini jelas menguatkan moderasi beragama, apalagi dalam peluncuran Aksi Moderasi Agama pada September 2021, salah satu “dosa pendidikan” yang ingin dihilangkan adalah soal “intoleransi”. Keseriusan makin nyata dengan adanya rancangan materi moderasi beragama yang akan disusun oleh Kemendikbudristek dengan Kemenag yang akan disertakan dalam kurikulum sekolah penggerak. Demikian pula adanya Survei Lingkungan Belajar untuk mengukur hasil belajar dan kualitas lingkungan belajar pada satuan pendidikan. Anehnya, dalam kuesioner tersebut justru banyak pertanyaan yang terkait keberagaman, preferensi politik, dan wawasan kebangsaan, bukan pada relasi sosial antara guru dan lingkungan sekolah, kekerasan, atau kegiatan akademik nonakademik untuk menunjang ekosistem sekolah yang baik.

Baca Juga:Pornografi Membawa PetakaMengambil Pelajaran Saat Musibah Menyapa

Penguatan moderasi beragama makin nyata dengan adanya Permendikbudristek 30/2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PP-KS) di perguruan tinggi. Adanya istilah sexual consent menimbulkan makna legalisasi terhadap perbuatan asusila dan seks bebas berbasis persetujuan. Pasal tersebut jelas menunjukkan adanya perilaku bebas tidak terikat tuntunan agama, sesuai dengan salah satu ciri moderat nonsektarian.

Sungguh sangat miris saat melihat kondisi kehidupan umat hari ini terkhusus bagi generasi penerus bangsa yang menjadi target program moderasi beragama. Terutama bagi mereka yang tidak memahami ajaran Islam yang sebenarnya (secara kaffah /menyeluruh). Bukan hanya dari sisi sulitnya meraih kesejahteraan hidup. Bahkan untuk membentuk karakter/kepribadian yang sesuai tuntunan aqidah yang hakiki saja sulit terwujud.

0 Komentar