OPINI  

Mudik Jasmani vs Mudik Rohani

Oleh:

1.DR.H.Ibnu Hasan,M.S.I.( Dosen Universitas Muhammadiyah Purwokerto dan Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jateng)
2.Drs. H. Priyono, M.Si. (Dosen Fakultas Geografi Universitas Muhammadiyah Surakarta dan Penasehat Takmir Masjid Al Ikhlas,Sumberejo,Klaten selatan)

Mudik dalam perspektif Jawa selalu dikaitkan dengan pulang kampung halaman, tanah leluhur, setelah sekian lama merantau dan ingin bertemu dengan sanak saudara dan orang tuanya. Mudik bisa bernuansa kultural maupun religi karena Rasulullah saw mengajarkan untuk mempererat silaturahmi (HR Buchari).

Dalam perspektif tasawuf, mudik memiliki dua makna yaitu mudik jasmani dan mudik ruhani. Mudik jasmani merupakan perjalanan fisik badan kita, pulang-pergi seseorang secara fisik ke kampung halamannya dari tempat tinggal sekarang dan setelah itu dapat pergi lagi dari kampung halamannya kembali lagi ke aktivitas kesehariannya. Dalam terminologi geografi disebut mobilitas penduduk horizontal karena gerakan manusia dari daerah asal menuju daerah tujuan. Ada juga mobilitas vertikal atau perubahan status sosial dalam masyarakat akibat gerak mobilitas horizontal. Orang bergerak atau berpindah dari daerah asal ke daerah tujuan dalam perspektif teori mobilitas adalah untuk meningkatkan kesejahteraan baik jasmani maupun rohani sehingga sangat dimungkinkan akan terjadi mobilitas vertikal seusai melakukan mobilitas horizontal.

Sedangkan mudik ruhani atau mudik yang sebenarnya adalah mudik secara ruhiyah, yakni perjalanan dari keadaan yang tidak baik menuju kebaikan sebagaimana Hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan Imam Bukhari dan muslim : Orang yang hijrah (mudik) adalah orang meninggalkan apa yang dilarang Allah. Ia bersungguh sungguh melakukan mudik yang tidak musiman, namun ia mudik sepanjang waktu untuk mengubah keadaan yang lebih baik dalam semua aspek kehidupan.

Ramadhan merupakan bulan penuh berkah dan ampunan dari Allah swt. Bulan ramadhan 1444 H telah kita tinggalkan dan mestinya bulan tersebut merupakan salah satu momentum terbaik kita untuk mengumpulkan bekal terbaik atau bekal unggulan dalam perjalanan mudik ruhani karena sebaik baiknya bekal kita adalah taqwa, yang menjadi ending dari ibadah puasa dan semoga masih bertemu kembali dengan bulan Ramadan tahun depan jika Allah SWT belum menghendaki kita untuk mudik (kembali) ke hadiratNya.

Ada kaitan antara mudik jasmani dan rohani dimana setelah kita menempa diri lewat puasa baik jasmani maupun rohani selama 29 hari, aka ada perubahan atau peningkatan ibadah kita kepada Allah swt karena intensitas ibadah kita semakin baik, yang kemudian menumbuhkan rasa kepeduliaan pada makhluk ciptaannya. Ketika mudik jasmani, kita berusaha memperbaiki hubungan baik dengan sesama dengan saling maaf memaafkan. Dalam beberapa ayat pada Al Quran kosa kata iman selalu disandingkan dengan kata berbuat baik atau beramal shaleh, inilah keseimbangan yang selalu dipesankan kitab suci kita. Oleh karena itu islam menjadi leader dalam menciptakan agama yang rahmatan lil alamin.

Namun, fenomena yang lazim di di penghujung Ramadhan dan menjelang hari raya Idul Fitri justru adalah ramainya pasar dan pusat-pusat perbelanjaan. Ummat Islam justru sibuk berburu baju baru dan makanan lebaran. Euforia lebaran tidak seharusnya membuat kita lalai hakikat mudik yang sesungguhnya. Maka mari di penghujung Ramadan dan di bulan berikutnya di luar ramadan ini, kita fokus beribadah , masjid kita makmurkan untuk kegiatan sholat , mengaji, zikir, dan kegiatan ibadah lainnya, dengan meningkatkan kuantitas dan kualitas ibadah, untuk mempersiapkan diri mengumpulkan bekal mudik ruhani yang pasti akan kita alami bukan sebaliknya mengunjungi tempat perbelanjaan untuk lebih banyak memenuhi kepentingan jasmani.

Bukankah Allah swt sangat menyukai amal sedekah, infaq, zakat serta berbuat baik kepada sesama. Itulah yang membuat Allah senang karena tatkala kita membahagiakan orang yang sedang susah.Allah hadir disampingnya dan Allah akan mengganti dengan ganjaran 700 kali ( Al Baqarah 261-262). Bila kita sibuk dengan ibadah ritual maka itu tandanya kita hanya mencintai diri kita sendiri tapi bila kita berbuat baik dan berkorban untuk orang lain maka sesungguhnya kita mencintai Allah swt dan Allah senang karenanya. Buatlah Allah swt senang maka Allah akan limpahkan rahmatNya dengan membuat hidup kita lapang dan bahagia (Kitab Mukasyafatul Qulub karya Imam Al Ghazali).

Inilah hakekat ibadah yang sebenarnya, mincintai Allah berarti harus mencintai makhluk ciptaannya. Maka dengan mudik fisik , silaturahmipun harus bermakna sehingga mudik jasmani akan mengalirkan pahala dan menjadi bekal kelak sebelum mudik ruhani. Makna silaturahmi tidak boleh dipandang sebelah mata tapi harus bermata ganda yaitu mata fisik dan mata hati agar kolaborasi mudik jasmani dan ruhani menjadi simponi yang indah.