Nilai Filosofis “Kolecer” : Simbol Tekad, Ucap dan Lampah sebagai Wujud Syukur kepada Alam

Nilai Filosofis "Kolecer" : Simbol Tekad, Ucap dan Lampah sebagai Wujud Syukur kepada Alam
BAHU-MEMBAHU: Masyarakat gotong royong memasang baling-baling di ujung tiang. INDRAWAN SETIADI/PASUNDAN EKSPRES
0 Komentar

Sejak pagi warga kampung Cimeuhmeul Tanjungsiang sudah berkumpul. Bapak-bapak dan pemuda sibuk menyelesaikan bagian-bagian kolecer (baling-baling bambu dalam bahasa sunda). Ibu-ibu menyiapkan nasi tumpeng, dan aneka makanan khas kampung. Rupanya hari itu akan diadakan festival kolecer, sekaligus upacara nangtungkeun kolecer.

LAPORAN: INDARAWAN SETIADI, Tanjungsiang

Tidak hanya warga Tanjungsiang saja, beberapa pejabat daerah Kabupaten Subang sudah hadir di area pesawahan di Desa Cimeuhmeul. Dinas pendidikan dan kebudayaan rupanya menyelenggarakan festival kolecer di sana. Acara berlangsung seremonial begitu saja, padahal nilai-nilai yang terkandaung dalam prosesi nangtungkeun kolencer begitu dalam, dan filosofis.

Diawali dengan pemasangan tiang terdiri dari tiga bambu, dua bambu utuh, dan satu bambu dibuat/dipasang pijakan. Setelah tiang yang tinggi sekitar 10 meter dinilai cukup kokoh, pendaki mulai naik. Salah satu warga, bertugas memasang kolecer di bagian paling atas.

Baca Juga:Bangun Kebersamaan dalam Refleksi 1 Tahun Jimat AkurUniversitas Subang Wisuda 307 Mahasiswa

“Itu bagian bubuntut atau jajabig, panjangnya sekitar 8 meter, nanti lihat saja begitu proses pemasangan akan menegangkan,” ujar seseorang, yang belakangan diketahui bernama Andri Kemal, seorang praktisi budaya asal Universitas Padjajaran, yang ternyata sedang melakukan penelitian di sana.

Benar saja, ketika proses pemasangan bubuntut berlangsung menegangkan. Lantaran memang dipasang di puncak tiang. Setelah berhasil dipasang, sambut riuh sorak ramai masyarakat menyambut. Andri menuturkan, kolecer pada zaman dahulu digunakan sebagai alat untuk memprediksi cuaca oleh masyarakat sekitar.

“Saya sudah wawancara dengan warga setempat. Rata-rata orangtua mereka menggunakan kolecer sebagai alat prediksi cuaca saat dahulu. Itu diketahui dari angin kolecer. Seperti kecepatan, kontinuitas putaran, dan arah kolecer, termasuk suara kolecer,” jelasnya.

Setelah dia pelajari, bersama hasil obrolan bersama masyarakat dan tokoh di sana Andri menerangkan, kolecer terbagi menjadi dalam tiga bagian besar. Yaitu bubuntut bagian belakang, simbol dari tekad, bagian tengah dan kolecernya merupakan simbol ucap, serta putaran dan kolecernya merupakan, simbol lampah, atau langkah.

“Jadi ada tekad, ucap dan lampah. Buana luhur, buana handap, buana panca tengah, dan buana larang. Itu merupakan tritangtu dalam pemahaman budaya sunda. Tilu sampulu, dua sakapura, nu hiji eta keneh. Dalam budaya sunda sistem tiga itu menjadi wujud syukur ke alam. Ketika kolecer bisa berputar itu filosofinya datang sanghyang hirup, muncul tritangtu. Jadi bukan hanya berputar oleh angin, tetapi dimaknai bisa mendatangkan kerahayuan, atau kemuliaan, begitu,” pungkasnya.(idr/vry)

0 Komentar