Bebal

Belajar Filsafat
0 Komentar

Pojokan 82

Bengis! Tragis! Tak punya nurani kemanusiaan! Hanya jiwa binatangisme berwujud manusia, yang bergerombol seperti Hyena memangsa buruannya yang tak berdaya. Tak kenal ampun dan belas kasihan, apalagi peri kemanusiaan. Hanya nafsu dan keberingasan binatangisme. Itulah gambaran sekelompok orang yang mengeroyok WH (89) hingga tilar dunia, di Cakung Jakarta Timur 25 Januari 2022 lalu. Dan WH bukan satu-satunya korban kebengisan tak bernurani. WH (89) adalah salah satu korban kebebalan sekelompok orang. Yang tak memandang sesama adalah manusia yang harus dimanusiakan dan dihargai.

Sekelompok orang atau individu yang bebal, tak jalan pikiran dan nuraninya. Seperti macetnya engsel pintu karena berurat karat. Macet Nurani dan kemanusiaannya! Karat nafsu binatangisme.

Seperti kerbau dicocok hidung, virus bebal ini mendorong orang berebut bengis dan keji. Sebab kerbau tak berotak dan tak berpikir. Kebebalan yang menulari orang-orang yang bergerombol dekat dengan si Bebal nurani dan pikiran. Koar-koar provokasi menjadi senjata utama. Agar orang-orang tercemari kebebalan nurani dan pikiran. Seolah siapa yang paling berani adalah aktor laga. Kebebalan melahirkan hilangnya kedaulatan pribadi yang melebur seperti gula dan kopi di air panas menuju kolektifa yang destruktif.

Baca Juga:Sering Terjadi Kecelakaan, Polres dan Dishub Operasi Gabungan Sasar Angkutan BarangSinopsis Doctor-X Season 7, Michiko Daimon Tetap Diperankan Ryoko Yonekura

Kebebalan melahirkan bentuk-bentuk abnormal, temperamen, amok, mania dan paranoid. Diselingi depresi akut. Kebebalan nurani dan pikiran yang menular menjadi patologi sosial. Kebebalan juga dilahirkan dari watak budaya orang-orang yang merasa atau memang termarginalkan. Atau juga merasa paling berkuasa atau paling kuat. Atau merasa “paling” lainnya. Orang-orang bebal adalah orang-orang yang mengalami sindrom marginal, terombang-ambing dan tak bisa menentukan pilihan.

Kebebalan adalah impotensi perasaan yang disebabkan ketakmampuan mengatasi lingkungan baru. Sehingga dia termarginalisasi dalam peta realitas sosial dan perubahannya yang berkembang pesat. Ketakmampuan merespon perubahan tersebut melahirkan revolusi identitas marginal. Terpuruk dipojokan realitas dan mencari identitas baru dengan kebebalan nurani dan impotensi perasaan. Kebebalan yang merubah sifat lunak, berevolusi dalam hitungan detik menjadi keberingasan dan hati mengeras bagai batu. Membentuk simbolik kekerasan dan konflik yang tak ternegosiasikan.

Orang-orang yang termarginalkan secara ekonomi dan politik, dihadapkan pada perubahan realitas sosial, akan mengalami keterkejutan budaya (culture shock). Seperti seonggok kayu atau sampah di tengah arus banjir provokasi. Tak berdaya menggunakan nurani dan pikirannya.

0 Komentar