Lemniscate

Belajar Filsafat
0 Komentar

Pojokan 74

Yang SATU itu selalu kita “rayu” dan “suap” dengan perbuatan yang kita anggap “baik” dan tidak seberapa. Kadang “menyuap” yang SATU cukup dengan mengulang “kalimat”, yang juga tak berisi, kering, hanya mengeringi bibir saja alias lipstick. Tak dirasai “kalimat” itu. Padahal perbuatan baik yang dilakukan kita memiliki motif. Apakah perbuatan baik yang memiliki motif bisa disebut “baik”? Entahlah!

Motifnya bisa berupa apa saja. Bagi banyak orang, termasuk saya, kepentingan materi-duniawi menjadi motif utama. Bagi yang lebih tinggi motif dan derajatnya, motif perbuatan baiknya untuk menyatu dengan yang SATU.

Dibeberapa kasus, “merayu” atau “menyuap” yang SATU untuk kepentingannya, adalah hanya dengan mengulang-ngulang “kalimat”. Tanpa usaha. Bahkan kadang ada yang tak satupun, mengulang kalimat atau perbuatan baik. Namun tetap meminta. Paradoks hamba. Tak apalah, karena yang SATU ini tak rewel. Tak bawel seperti manusia yang selalu mengeluh, menuntut, protes tak puas.

Baca Juga:Chipset Snapdragon 8CX Gen 3 dari Qualcomm Segera Meluncur, Saingi Apple?Nita Gunawan Dari Content Creator Menjadi Seleb

Hubungan kita dengan yang SATU, harusnya seperti Lemniscate. Ikatan yang yang tak pernah lepas. Sebab yang SATU itu tak hingga, tak terbatas dalam apapun secara eksternal maupun internal, baik di dalam maupun di luar dirinya. Plotinus menyebutnya The Infinity- yang tak terhingga. Disimbolkan dengan angka delapan tertidur.

Persepsi Lemnicaste -ikatan yang tak lepas itu, sayangnya dijalin dengan kepentingan untuk diri sendiri. Bukan untuk kepentingan yang SATU. Sebab yang SATU maha Agung dan Maha Kuasa. Yang kita paksa! Bahkan seolah “diperkosa” untuk memenuhi kepentingan kita. Kita terikat kepada yang SATU karena kepentingan duniawi kita.
Lemniscate dengan yang SATU bukan hanya terjalin dari khusu’nya berbagai ritual penghambaan kita. Namun justru Lemniscate dijalin dari hubungan antar manusia, manusia dengan bangsanya, manusia dengan lingkungannya. Yang SATU akan mengikuti. Sebab yang “tak terhingga” tercermin dalam diri manusia dan alam yang terbatas. Yang SATU mungkin bisa dipahami ketika kita memahami diri kita, sesama, bangsa dan alam lingkungan di sekeliling kita.
Yang merusak ikatan yang tak lepas itu-Lemniscate adalah stereotipe -jalan pintas pikiran dalam mempersepsikan orang atau kelompok, dan prasangka. Prasangka adalah pendapat tergesa-gesa yang melahirkan penghakiman terhadap objek atau orang lain. Prasangka melahirkan akal kita tumpul. Persepsi yang berbalut stereotipe dan prasangka melahirkan diskriminasi.

0 Komentar