Zakat bagi Korban Kekerasan Pada Perempuan dan Anak, Tepatkah?

Zakat bagi Korban Kekerasan Pada Perempuan dan Anak, Tepatkah?
0 Komentar

Oleh Gina Siti Mugni, SE

Aktivis Dakwah

Pusat Studi Islam, Perempuan dan Pembangunan Institut Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan (PSIPP ITB-AD) Jakarta dan LAZISMU bekerja sama dengan pimpinan cabang Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Kota Sungai Penuh Jambi menyelenggarakan diskusi bedah buku “Zakat Untuk Korban Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak” seri ke-12 secara hybrid pada tanggal 5 November 2021. Yulianti Muthmainnah selaku penulis buku dan Ketua PSIPP ITB-AD mendorong agar fatwa yang dikeluarkan Majlis Tarjih Muhammad berpihak pada perempuan.

Ada pula pendapat dari Nevey V Ariani yang menyatakan bahwa salat dan zakat merupakan perkara ibadah yang satu sama lain tidak dapat dipisahkan. Dia pun memiliki pendapat bahwa korban kekerasan seksual bisa menjadi penerima zakat karena termasuk pada kategori riqab atau orang yang teraniaya. Ia mengingatkan supaya tidak memaknai konsep riqab secara tekstual. (Dikutip dari Suara Muhammadiyah.id 8/11/2021).

Kapitalisme Penyebab Tingginya Angka Kekerasan Seksual Pada Perempuan dan Anak

Sistem hidup kapitalis menimbulkan banyak persoalan, salah satunya tingginya angka kekerasan pada perempuan dan anak, terlebih lagi di masa pandemi. Berdasarkan data KemenPPPA pada tahun 2020 jumlah kasus kekerasan seksual pada perempuan dan anak tercatat 7.191 kasus sedangkan jumlah kasus kekerasan pada perempuan dan anak berjumlah 11.637. (m.republika.co.id 04/06/2021)

Baca Juga:Kejahatan Seksual Marak, Perlukah RUU TPKS Disahkan?Krisis Kazakhstan, Waspadai Potensi Intervensi Asing

Tingginya angka kekerasan pada perempuan dan anak menimbulkan permasalahan yang lain. Korban pada umumnya mengalami dampak psikologis yang cukup panjang. Memerlukan konsultasi dengan ahli kejiwaan, membutuhkan fasilitas kesehatan dan hukum dalam jangka waktu yang lama. Besarnya biaya yang dibutuhkan untuk menangani korban, menjadikan zakat sebagai salah satu sumber pendanaan alternatif, padahal masalah tersebut muncul karena peran negara yang tak lagi berfungsi, yakni sebagai penanggung jawab dan pengurus rakyat.

Semua ini terjadi akibat negara yang berada dalam sistem kapitalisme tidak memahami akar permasalahan kekerasan pada perempuan dan anak. Tidak ada solusi nyata bagi pencegahan kekerasan pada perempuan dan anak. Bahkan hukuman bagi pelaku kekerasan seksual maksimal hanya 15 tahun penjara. Hal ini tentu tidak memberi efek jera sehingga kasus kekerasan seksual terus meningkat. Banyak nya konten pornografi yang berceceran di media apalagi media sosial, di facebook saja banyak sekali iklan yang berpotensi membangkitkan birahi kaum lelaki seperti mengumbar aurat, tontonan vulgar, dan tabaruj.

0 Komentar