Oleh: Mochamad Lukmantias Amin
Generasi Z dan Alpha
Anak didik yang saat ini duduk di bangku pendidikan sering disebut sebagai generasi Z untuk mereka yang lahir pada rentang tahun 1997 hingga 2012, sedangkan mereka yang lahir di atas tahun 2012 disebut sebagai generasi Alpha.
Generasi Z dikenal sebagai generasi digital (digital natives), karena mereka lahir di tengah teknologi yang canggih dan pesat sehingga banyak aktivitas sehari-hari yang dilakukan melalui digital, termasuk belajar.
Inilah salah satu tantangan seorang guru yang mendidik anak didiknya di bangku sekolah. Selain harus mengikuti perkembangan zaman dengan melek teknologi, seorang guru juga dituntut untuk mampu membentuk moral dan karakter generasi Z dan Alpha dengan cara pendisiplinan yang tegas tanpa kekerasan.
Karena dibalik kemudahan yang ditawarkan teknologi masa kini, terdapat dampak buruk bagi remaja seperti munculnya media sosial yang dapat menjadi candu dan dapat mengganggu minat belajar anak didik. Maka seorang guru harus mampu bersaing untuk memerangi sumber keburukan dari kemudahan akses teknologi saat ini.
Beragam metode pembelajaran digital terus di-update dan di-upgrade untuk memotivasi minat belajar anak didik. Melalui pembelajaran digital, anak didik diharapkan mampu memahami dan menguasai bidang ilmu yang disampaikan guru melalui materi audio visual.
Salah satu sarana pembelajaran digital adalah penggunaan Powertpoint untuk penyampaian materi dan video pendek yang berhubungan dengan materi pembelajaran. Namun, penggunaan media digital ini juga perlu diimbangi dengan keaktifan anak didik agar pembelajaran aktif dapat tercapai.
Dalam sebuah pembelajaran, untuk menuju keberhasilan tentunya perlu suatu proses, untuk mencari pola pembelajaran yang tepat dalam menghadapi generasi saat ini. Menurut praktisi Pendidikan, hal-hal yang tidak sesuai pola pembelajaran pada zaman milenial, untuk generasi Z dan generasi Alpha, antara lain:
Perlakuan dengan menghukum. Bukan jamannya lagi seorang guru marah-marah, menghardik, menunjuk-nunjuk, menyakiti, menyindir, sampai dengan kekerasan fisik maupun psikologis terhadap anak didik. Dampak buruk perilaku ini terhadap anak didik adalah mereka akan mengulangi kesalahan dan membentuk karakter pemberontak serta pembohong.
Sistem mengajar guru dengan pola sering menyalahkan akan menghasilkan anak didik yang sering berbohong, menyangkal dan menyembunyikan kebenaran, sehingga anak didik menjadi merasa rendah diri.
Guru yang menerapkan cara merayu sebagai teman, akan menghasilkan anak didik yang ketergantungan, mereka menjadi lemah, tidak mandiri, menjadi pribadi yang bergantung (melakukan yang baik kalau dipuji).
Guru yang menjadikan dirinya sebagai teman, menghasilkan anak didik yang akan menyesuaikan diri, hanya kalau diperhatikan atau diawasi, sehingga mereka menitikberatkan pada apa akibat atau hadiah untuk dirinya.
Terbentuk mentalitas “taat ketika diawasi”.
Pendidikan atau pola mendidik, yang sesuai dengan mental anak-anak generasi Z dan Alpha ini menurut pemerhati Pendidikan, adalah guru mengajak anak didik dialog, mencari akar suatu permasalahan yang ada, sehingga anak didik akan belajar memahami masalah, menemukan solusi atas masalahnya, mereka akan berpikir: “Bagaimana caranya saya bisa memperbaiki keadaan…”.
Dampak pada anak didik tentunya sangat positif, yaitu bertanggungjawab dan latihan untuk menjadi lebih dewasa (berkembang).
Adapun cara mendidik guru apabila anak didik melakukan kesalahan, seyogyanya bertindak tegas dan mengajak anak sadar apa yang seharusnya dilakukan, konsisten mengajarkan anak didik bagaimana cara melakukan yang seharusnya dilakukan dan mengapresiasi anak didik ketika telah melakukannya.
Seorang Pendidik yang mempunyai hati selalu mampu melihat “potensi” yang pantas diapresiasi dalam diri setiap anak didiknya. Untuk memahami itu semua, guru harus terus mengasah dan melatih kemampuan pedagoginya, di samping ke tiga unsur pokok yang harus dikuasainya.