Optimalisasi Peran Guru bagi Generasi Z dan Alpha: Sebuah Harapan untuk Subang (Bagian 1)

Bakal Calon Bupati Subang 2024 Mochamad Lukmantias Amin
Bakal Calon Bupati Subang 2024 Mochamad Lukmantias Amin

Oleh: Mochamad Lukmantias Amin

Guru berkewajiban untuk mendidik anak didiknya sehingga mampu menguasai beberapa bidang keilmuan.

Mendidik bukan hanya mentransfer ilmu yang dimiliki kepada anak didik, namun memiliki arti lebih luas dan mendalam.

Menurut Prof. H. Mahmud Yunus, bahwa mendidik tidak hanya meningkatkan pengetahuan, tetapi juga meningkatkan akhlak dan memudahkan seseorang mencapai tujuan serta cita-cita yang lebih tinggi.

Tidak mengherankan jika orang tua dan stakeholders mengharapkan hal yang lebih terhadap para guru untuk anak bersekolah agar memiliki prestasi yang baik dan moral yang tinggi.

Terlebih lagi, para orang tua dari anak didik yang berada di bangku Sekolah Menengah Tingkat Atas, umumnya mengharapkan setelah kelulusannya, anaknya memiliki bekal untuk masa selanjutnya baik secara skill maupun moril.

Secara fitrah, manusia belajar dengan cara dan gaya yang bervariasi. Diantara gaya belajar yang sudah populer dikenal dalam dunia pendidikan meliputi: (1) visual, (2) auditory, dan (3) kinestetik.

Yaitu model pembelajaran yang menekankan bahwa belajar harus memanfaatkan alat indra yang dimiliki siswa, melalui penglihatan, menyimak dan mempresentasikan, serta belajar dengan mempraktekan atau merasakan langsung.

Dalam pelaksanaan tugas-tugasnya, guru perlu memahami kondisi perkembangan anak didik. Peserta didik yang tumbuh dan berkembang dalam lingkungan sosial dan ekonomi yang berbeda cenderung memiliki cara dan gaya belajar yang bervariasi.

Adanya gaya belajar yang berbeda-beda ini juga menyebabkan sikap anak didik terhadap pembelajaran cukup bervariasi. Lebih lanjut, kasus-kasus atau permasalahan pembelajaran di kelas mengalami perkembangan yang semakin kompleks.

Dalam konteks lingkungan pendidikan maka semua anak akan diterima, dirawat dan dididik tanpa ada perbedaan baik dari segi jenis kelamin, fisik, intelektual, sosial, emosional, linguistik (bahasa) atau karakteristik lainnya, termasuk anak berkebutuhan khusus (ABK).

Materi antara ABK dengan anak didik normal terdapat perbedaan dan persamaan, tergantung kepada kelainan dan kemampuan ABK itu sendiri. Guru mata pelajaran maupun guru kelas selalu melakukan modifikasi kurikulum untuk penyederhanaan materi bagi anak berkebutuhan khusus.

Guna menjalankan kewajibannya setiap guru dibekali pengetahuan pedagogi, yaitu cara atau kiat yang merupakan seni dan ilmu pengetahuan tentang mendidik dengan kata lain pengajaran.

Guru sebagai aktor utama proses pedagogik senantiasa perlu meningkatkan kompetensinya guna melaksanakan proses pembelajaran yang menarik yang dapat melibatkan anak didik aktif selama proses pembelajaran.

Terlebih lagi dalam era revolusi 4.0 saat ini, guru harus selalu update terhadap informasi yang demikian cepat terbagi melalui media online.

Guru harus mampu memahami kebutuhan belajar anak didik dan memanfaatkan alat dan sumber belajar yang tepat sehingga bisa menarik minat belajar anak didiknya.

Peran Guru

Guru sebagai garda terdepan dunia pendidikan, tidak boleh gaptek (gagap teknologi), tapi harus melek teknologi, karena ini merupakan sebuah keniscayaan yang tidak bisa dihindari, bahwa penggunaan teknologi merupakan sebuah kebutuhan mutlak.

Pembelajaran di era ini, sudah tidak dibatas oleh ruang dan waktu, di mana pun, kapan pun, dengan siapa pun, baik indoor atau outdoor, dan pembelajaran menjadi fun and easy.

Namun demikian, secanggih apapun teknologi, itu hanya sarana penunjang bagi keberhasilan sebuah pendidikan.

Unsur mutlak yang harus ada dalam diri seorang pendidik atau seorang guru, sudah baku di dalam Undang-Undang Guru dan Dosen No 14 tahun 2005, yang tentunya bukan hal baru bagi seorang pendidik.

Empat Kompetensi Guru Kompetensi Pedagogik; Kompetensi Kepribadian; Kompetensi Sosial; dan Kompetensi Profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi.

Artinya dari ke-empat Kompetensi Guru dalam pembelajaran saat ini, adalah guru harus mampu membimbing dengan hati yang dibutuhkan oleh anak-anak generasi Z dan Alpha, untuk mewujudkan anak didik yang berkarakter.

Mewujudkan dan membina hati yang baik dari seorang guru tidak terlepas dari keyakinan dan kecerdasan spiritualnya.

Dalam agama Islam untuk menjaga ketenangan hati dapat dilakukan melalui berbagai cara, antara lain dengan memperbanyak dzikir, untuk mengingat dan mendekatkan diri dengan Allah Ta’ala, memenuhi sholat wajib dan menambahkan shalat sunnah secara khusyuk, meyakini kehidupan di akhirat, silaturahmi, tersenyum, melihat orang-orang di bawah, senantiasa berdoa dan husnudzon kepada Allah SWT, menjaga keikhlasan dan sabar, serta banyak bersyukur.

Secara umum, kecerdasan spiritual dapat ditingkatkan ketika para guru meningkatkan hubungan dalam konteks ke-Tuhanan, hubungan sesama manusia dan hubungannya dengan alam, lingkungan tempatnya berada, sehingga memiliki empati dan kasih sayang tanpa batas.