OPINI  

Pendidikan Karakter Antara Harapan dan Realita

Oleh:
Femy Marlia Lestari, S.Pd

Generasi muda merupakan harapan masa depan suatu bangsa, harapan untuk membawa generasi saat ini menjadi lebih baik di masa yang akan datang. Negara yang paham akan pentingnya peran generasi muda ini akan mencurahkan segenap kemampuan yang dimiliki untuk dapat memaksimalkan potensi generasi muda demi kemajuan negaranya, salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan penyelenggaraan pendidikan nasional. Anggaran pendidikan, sumber daya manusia, kurikulum pendidikan nasional merupakan komponen yang dikerahkan untuk memaksimalkan penyelenggaraan pendidikan nasional ini, jika ketiga komponen ini baik maka harapan mencetak generasi muda harapan bangsa pun akan berhasil.

Secara umum ada tiga hal yang ingin dibentuk dalam penyelenggaraan pendidikan nasional, ketiga hal itu adalah aspek kognitif, keterampilan, dan karakter setiap peserta didiknya. Aspek kognitif memastikan peserta didik siap menghadapi setiap tantangan masa depan dengan keilmuan yang dimilikinya, aspek keterampilan memastikan peserta didik mampu bersaing di kehidupan masa depan yang pastinya akan lebih kompetitif dan selanjutnya aspek karakter memastikan peserta didik mampu berkompetensi dengan tetap memanusiakan manusia. Aspek karakter siswa menjadi yang paling sulit pembentukannya karena mmemerlukan proses yang panjang dan dinamis. Kejujuran, kreatifitas, bertanggung jawab, berintegritas, disiplin, optimis, dan sebagainya adalah karakter-karakter yang ingin dibentuk di dalam diri setiap peserta didik. Karakter tersebut menjadi asset yang berharga di masa yang akan datang mereka untuk mampu bertahan hidup dengan tetap memanusiakan manusia.

Kesulitan yang dihadapi dalam pembentukan karakter dapat berasal dari internal dan eksternal pendidikan. Kesulitan yang berasal dari internal antara lain sebagai berikut:

1. Orientasi pendidikan yang masih mengutamakan aspek kognitif

2. Kemapuan dan karakter guru yang belum mendukung

3. Indikator aspek karakter belum terjabarkan secara mendetail

4.Guru belum memiliki kompetensi memadai dalam mengintegrasikan nilai karakter dalam pembelajarannya

5. Guru belum dapat menjadi teladan atas nilai karakter yang dipilihnya
Sedangkan kesulitan penanaman karakter yang berasal dari eksternal adalah sebagai berikut:

1.Pengaruh globalisasi

2. Perkembangan sosial masyarakat

3. Perubahan tata nilai dan norma kemasyarakatan

4. Perkembangan teknologi
Faktor internal dan eksternal dalam penanaman nilai karakter kepada peserta didik memiliki porsi yang sama, faktor yang satu tidak lebih unggul dari faktor yang lain. Kesulitan-kesulitan tersebut diperparah dengan orang tua peserta didik yang memiliki pemahaman bahwa penanaman karakter adalah tanggung jawab sekolah, alih-alih pemeran utama dalam penanaman karakter putra dan putrinya, orang tua malah menyerahkan tanggung jawab utamanya ke sekolah, ini sangat menyedihkan.

Nilai tersebut sangatlah penting bagi kemajuan karakter bangsa, bahkan masing-masing karakter saling berinteraksi dan berkembang secara dinamis membentuk keutuhan pribadi. Namun fakta yang terjadi pendidikan karakter yang diharapkan mampu membuat output pendidikan lebih baik ternyata masih jauh panggang dari api, hal itu terlihat dari beberapa temuan fakta di berbagai media. Dilansir dari Detik.com KPAI telah menangani 1885 kasus pada tahun 2018, Terdapat 504 anak jadi pelaku pidana, dari mulai pelaku narkoba, mencuri, hingga kasus asusila menjadi kasus yang paling banyak. Dalam kasus ABH, kebanyakan anak telah masuk Lembaga Pemasyarakatan Khusus Anak (LPKA) karena telah mencuri sebanyak 23,9 persen, kasus narkoba sebanyak 17,8 persen, serta kasus asusila sebanyak 13,2 persen, dan lainnya. Bukan hanya kasus-kasus tersebut, berdasarkan data dari Komisi Perlindungan Anak, tercatat 62,7 persen remaja SMP di Indonesia sudah tidak perawan. Terdapat pula hasil lainnya seperti tercatat 93,7 persen peserta didik SMP dan SMA pernah berciuman, 21,2 persen remaja SMP mengaku pernah melakukan aborsi, dan 97 persen remaja SMP dan SMA pernah melihat film porno. (Kompas.com, 2010).

Degradasi moral masih menjadi tantangan dunia pendidikan Indonesia saat ini, KPAI juga mencatat angka tawuran pun terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Memudarnya rasa hormat peserta didik kepada guru juga menjadi fakta lain yang tidak kalah mencengangkan, semakin banyak media mengangkat fakta tersebut entah sebagai bentuk keprihatinan atau hanya sekedar mencari keuntungan pribadi. Salah satu contoh kasus yang ada ialah kasus seorang murid di salah satu SMP swasta di Kabupaten Gresik yang menantang gurunya saat ia diingatkan oleh gurunya untuk tidak boleh merokok. Pada kasus tersebut, seorang siswa memegang kerah gurunya sambil merokok dan melempar kata-kata yang tidak sopan. Walaupun kasus tersebut berakhir dengan damai Karen sang guru telah memaafkan siswa tersebut, kasus ini merupakan tamparan keras bagi dunia pendidikan Indonesia yang saat ini sedang digemborkan dan diaplikasikannya pendidikan karakter bagi anak Indonesia.

Penulis pun secara langsung melihat bagaimana rasa hormat mulai memudar dalam diri peserta didik. Enggannya peserta didik menyapa gurunya ketika bertemu, meninggikan suara saat berbicara dengan guru, tidak terima saat diberi nasehat, lebih mengutamakan nilai tinggi daripada kejujuran dalam melaksanakan penilaian, dan lain sebagainya.

Permasalahan kesulitan dalam menanamkan karakter harus segera dicari penyelesaiannya agar tiga aspek yang ingin dibentuk dalam penyelenggaran pendidikan dapat terwujud semuanya dan sesuai dengan harapan yang ingin diwujudkan dan tidak terjadi ketimpangan antara ketiga aspek tersebut.

Dengan maraknya kasus penyelewengan perilaku dan karakter anak bangsa, perlu ditumbuhkan kesadaran bagi tidak hanya tenaga pendidik dan pemerintah, melainkan kesadaran masyarakat Indonesia untuk menerapkan perilaku yang baik dan menanamkan karakter yang baik bagi anak Indonesia. Dengan kata lain pendidikan karakter sesuai antara harapan dan realitas yang ada. Sebuah keharusan bahwa pendidikan mmenjadi tanggung jawab tiga pilar yaitu keluarga, sekolah dan masyarakat. Kerjasama harmonis ketiganya harus diwujudkan jika ingin mendambakan pendidikan karakter yang diidolakan untuk kualitas pendidikan di Indonesia.(*)