Pilpres dan Logika Memilih

Pilpres dan Logika Memilih
0 Komentar

Oleh : Jejen Mujiburohman, Anggota ICMI Kab. Subang

Proses Pemilihan Presiden dari tidak langsung ke proses Pilpres secara langsung merupakan hasil sejarah bangsa Indonesia yang cukup alot. Bukanlah perjalanan mudah dan singkat, melainkan melalui perdebatan Panjang.
Keputusan itu diambil memiliki tujuan yang sama dari seluruh komponen bangsa yaitu keinginan memiliki presiden yang berkualitas.

Sudut segitiga sama sisi merupakan kunci yang harus dibenahi jika kualitas pilpres ingin melahirkan peminpin yang baik dan kreadible. Paslon, team sukses dan pemilih. Paslon merupakan pigur yang harus diketahui dari A sampai Z oleh pemilih, sebab pada tangan mereka implementasi kebijakan public akan dijalankan.

Team sukses adalah jembatan yang harus mampu menghubungkan paslon dengan pemilih. Sedangkan pemilih merupakan ‘suara tuhan’ yang sangat menentukan arah kepeminpinan dimasa-masa yang akan datang.
Logika sering dimaknai sebagai kesadaran untuk menentukan ketepatan nalar dalam memahami satu persoalan. “Logika adalah bentuk pemikiran dan kaidah kaidah hukum yang mengaturnya” jelas Aristoteles, seorang filsuf dari Yunani.

Baca Juga:Simulasi Pemungutan dan Penghitungan Suara, Ketua KPU: Ini Jadi Gambaran dan Tolok UkurPupuk Kujang Alokasikan 5.000 Kupon Diskon Pupuk Nonsubsidi di Purwakarta

Menentukan seorang presiden yang akan mengatur 278,8 juta jiwa, 1.340 suku bangsa, 733 bahasa daerah dan beragam agama, bukanlah persoalan sederhana. Membutuhkan ketepatan logika dalam memilih.
Paslon pasti memiliki plus minus. Tidak ada manusia yang sempurna. Teori sanding bisa jadi merupakan hasil nalar yang bisa dipertanggungjawabkan, asal tidak menyandingkan paslon dengan kesempurnaan.

Tetapi menyandingkan antara paslon yang ada untuk mencari kelebihan merupakan logika yang dibenarkan.
Keterbatasan publikasi dan kondisi masyarakat kita yang kurang peduli untuk mencari informasi tentang kualitas paslon, ditambah dengan ketidak jujuran team sukses dalam mewarnai pilkada dengan cara intimidasi, hoak, kompanye sara, saling menjatuhkan, politik uang, survey pesanan, dan janji palsu, dinilai sangat menentukan kualitas dalam memilih peminpin. Sebab mayoritas pemilih dalam mengenal paslonnya berada pada ruang yang buram, dan secara bersamaan kita tidak menyadari bahwa masyarakat sedang digiring pada proses pembodohan publik.

Teori ini mungkin banyak benarnya. Seseorang bertanya kepada ahli hikmah; “Apakah bukti seseorang itu berakal?”. Beliau menjawab, “Bahwa tanda orang berakal adalah perkataanya selalu yang baik dan berguna bagi orang lain”. Kemudian seseorang lagi bertanya; “Bagaimana jika kita tidak mendengar perkataanya, hanya dari jauh saja mendengar namanya?”. Ahli hikmah ini menjawab; “Kita mengenal orang itu dengan tiga hal.

0 Komentar