Potret Sektor Informal di Perkotaan

Potret Sektor Informal di Perkotaan
0 Komentar

Mobilitas penduduk bermakna mencari keseimbangan antar wilayah.

Wilayah yang kelebihan tenaga kerja akan mengalir ke wilayah yang menyediakan kesempatan kerja yang biasanya daerah perkotaan. Mobilitas dalam kajian teoritis termasuk upaya untuk meningkatkan kesejahteraan pelakunya dan sekaligus mereka adalah orang yang dapat merespon pasar. Namun berdasarkan teori mobilitas Ravenstein yang dikenal dengan dengan law of migration bahwa orang yang melaukan migrasi itu sangat selektif dan memilih jarak yang relative dekat.

Arango ( 2000 ) menyatakan bahwa terjadinya mobilitas karena adanya tekanan di daerah asal baik tekanan alam, ekonomi maupun sosial. Demikian pula arus mobilitas ke kota sering mendatangkan berbagai masalah di perkotaan termasuk pengemis. Keberadaan pengemis merupakan fenomena yang umum terdapat di perkotaan termasuk kota Salatiga . Hal ini bisa terjadi karena rendahnya tingkat pendidikan, ketrampilan tidak bisa mengaksek sektor formal maka masuklah ke sektor yang paling mudah menyerap tenaga kerja tanpa syarat yaitu sektor informal. Pada tahun 2005, jumlah pengemis di kota Salatiag ada 87 orang dan 10 tahun berlipat menjadi 235, sebuah perkembangan penduduk miskin yang cepat dan yang menyedihkan bahwa dari jumlah tersebut yang terlayani oleh Pemerintah kota hanya kurang dari 10 persen.

Pengemis yang menjadi responden dalam penelitian ini berjumlah 53 orang yang diambil secara accidental sampling di lokasi yang menjadi tempat bekerja mereka. Jumlah tersebut meliputi pengemis laki laki sebanya 23 dan sisanya perempuan dengan sebaran umur yang bervariasi. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian survai.
Potret pengemis di Salatiga sbb :

Baca Juga:Harga Sepeda Lipat “Ngedrop?” Ternyata ini AlasannyaKuliah Daring Berpeluang bagi Mahasiswa untuk Berbisnis

1. Hampir 50 persen berasal dari luar kabupaten karena memang jaraknya tidak terlalu jauh, bahkan ada yang berasal dari luar provinsi , sebesar 21 persen. Besarnya angka ini menunjukkan bahwa mencari kehidupan tidak mengenal jarak seperti yang digambarkan dalam teori Ravenstein tetapi merupakan migrasi berantai yang diperoleh dari pelaku mobilitas sebelumnya yang memberi informasi pada rekan di daerah asalnya. Disamping itu tempat tinggal di daerahnya tidak menjanjikan sehingga mereka mencari daerah yang memiliki nilai kemnafaatan yang lebih tinggi. Pengemis yang berasal dari daerah yang masih dalam lingkup kabupaten tentu mempertimbangkan jarak tempat tujuan sehingga bisa kembali ke rumah pada hari yang sama. Faktor usia juga menjadi pembatas untuk melakukan mobilitas jarak jauh

0 Komentar