Suka Gado-gado? Makanan Legendaris Ini Sudah Penuhi Syarat Kesehatan

Suka Gado-gado? Makanan Legendaris Ini Sudah Penuhi Syarat Kesehatan (ilustrasi gado-gado, commons wikimedia)
Suka Gado-gado? Makanan Legendaris Ini Sudah Penuhi Syarat Kesehatan (ilustrasi gado-gado, commons wikimedia)
0 Komentar

KULINER – Sejumlah jenis sayuran ditambah telur rebus dikenal dengan nama makanan gado-gado. Tanpa adanya telur, namanya akan berubah. Jogjakarta dan Jawa Tengah menyebut makanan tersebut lotek.

Di tatar Sunda, namanya menjadi karedok. Sayuran diganti taoge dikenal dengan ketoprak di Jakarta. Ditambah dengan daging sapi bagian mulut namanya berubah menjadi rujak cingur di Jawa Timur.

Profesor bidang kebudayaan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Alie Humaedi memaparkan, dalam taksonomi atau ilmu pengelompokan, gado-gado, lotek, ketoprak, karedok, dan semacamnya itu termasuk ke dalam satu kelompok.

Baca Juga:Instagram Punya Fitur Baru, Konten di Laman Utama Feed Jadi TerpisahBayi Rewel Usai Ganti Susu Formula, Ini Penjelasan Dokter

Dengan bahan utama bumbu kacang atau sambal kacang yang menghiasi berbagai macam sayuran.

”Uniknya, bertambah bahannya bisa mengubah namanya,” terang Alie. Lalu, sejumlah sayuran itu direbus sampai matang. Orang luar negeri menyebutnya salad. Namun, jangan salah. Sayuran salad serbamentah. ”Di Indonesia, semua matang direbus,” jelas Alie.

Suka Gado-gado? Makanan Legendaris Ini Sudah Penuhi Syarat Kesehatan

Cara mengolahkan yang tidak mudah sebtulnya merupakan bagian penting dari masyarakat Indonesia. Alasannya, bisa jadi pengolahan tersebut adalah hasil trial and error masyarakat.

”Yang pasti, semua itu otentikasi Indonesia,” imbuhnya.

Bisa jadi, sayuran yang tidak matang tersebut bisa menimbulkan sakit. Maka, dengan direbus bisa jadi salah satu cara untuk melunturkan getah dalam sayuran.

”Makanan tradisional Indonesia ini penuh dengan syarat kesehatan atau memulihkan badan,” papar Alie.

Apabila ditengok sejarah gado-gado dan sejenisnya tersebut, hampir tidak ditemukan asal musalnya. Akan tetapi, semua itu bisa jadi merupakan tradisi lisan yang tetap berkembang di masyarakat.

”Hadir bersamaan dengan realitas untuk bertahan hidup,” imbuh Alie. (Jni)

0 Komentar