Cagar Alam Junghuhn Dibiarkan Tak Terawat

Cagar Alam Junghuhn Dibiarkan Tak Terawat
HANCUR: Warga menunjukan Makam Johan Eliza de Vrij yang telah hancur karena tertimpa batang pohon beberapa waktu lalu. EKO SETONO/PASUNDAN EKSPRES
0 Komentar

LEMBANG-Sejarah penanaman kina di Jawa Barat tak terlepas dari kedatangan seorang dokter berkebangsaan Jerman bernama Frans Wilhem Junghuhn pada sekitar tahun 1840.

Junghuhn membawa bibit kina sebagai bahan pembuat obat malaria dari negara asalnya di Peru untuk ditanam di dataran tinggi Lembang, Jawa Barat. Berkat dia, Indonesia juga pernah dinobatkan sebagai penghasil kina terbesar di dunia.

Untuk menghargai jasa-jasanya, sebuah tugu yang dibawahnya terdapat makam Junghuhn tampak berdiri tegak di antara pemukiman penduduk di Kampung Genteng, Desa Jayagiri, Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat.

Baca Juga:Bulog Ajak Masyarakat Jadi Agen RPK, Dongkrak Pertumbuhan Ekonomi DaerahPemdes Segera Groundbreaking Usaha POM Mini

Tugu itu dibangun sekitar tahun 1890 atau 26 tahun setelah Junghuhn wafat pada 24 April 1864. Sayangnya, bangunan tersebut kini terlihat kusam, belum ditambah dengan banyaknya coretan dari tangan-tangan jahil serta sampah makanan.

Namun, kondisi ini bisa dikatakan lebih terawat bila dibandingkan 10 tahun lalu sebelum dibangun pos petugas dari Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Provinsi Jawa Barat yang bertugas merawat dan membersihkan tempat bersejarah seluas 750 meter persegi tersebut.

“Kondisi sekarang lebih terawat karena ada petugas yang setiap hari membersihkan sampah serta merawat cagar alam di sini,” ujar Hariban, selaku pengelola sekaligus penjaga cagar alam Jungkhun dari Kesatuan Pengelolaan Hutan Konservasi (KPHK) BKSDA Jabar ditemui di cagar alam Junghuhn, Senin (14/10).

Tidak jauh dari tugu Jungkhun, terdapat pusara makam Johan Eliza de Vrij yang kondisinya lebih memprihatinkan. Tempat peristirahatan terakhir ahli kimia sekaligus sahabat Junghuhn ini sulit dikenali lantaran tulisan di pusaranya sudah terhapus.

Bahkan, bagian tengah makam Johan Eliza de Vrij telah hancur karena tertimpa batang pohon beberapa waktu lalu. Menurut dia, kesadaran masyarakat setempat untuk merawat serta menjaga warisan sejarah sangatlah kurang.

“Seperti yang dapat dilihat sekarang, cagar alam ini kini jadi tempat bermain anak-anak, tempat bakar sampah serta lalu-lalang warga. Kalau dibangun tembok pemisah, mungkin akan lebih terawat lagi, bisa terbebas dari aktivitas warga,” katanya.

Seiring dengan pertumbuhan penduduk, luas cagar alam Jungkhun juga semakin terkikis. Dari semula luasnya mencapai 2,5 hektare, sekarang hanya tinggal 750 meter persegi sesuai Surat Keputusan (SK) Dirjen Kementrian Kehutanan tanggal 23 Januari 2019.

0 Komentar