LP3ES

LP3ES
0 Komentar

Oleh: Dahlan Iskan

Sudah lebih enam tahun saya puasa bicara BUMN di depan umum. Senin kemarin pecah telur.

Minggu lalu saya memang dalam kebimbangan besar. Mau atau tidak. Untuk berbicara di depan umum –dengan tema BUMN. Biasanya saya tegas saja: tidak mau.

Kali ini yang minta adalah LP3ES (Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial). Lewat direkturnya yang baru: Prof. Dr. Didik J Rachbini.

Baca Juga:Kemenag: Tidak Ada Salat Iedul Fitri di Alun-alun SubangMahasiswa Sebagai Agen of Change untuk Menangani Pandemi Covid 19

Sungguh kurang ajar kalau sampai saya menolak. Dan lagi menteri BUMN-nya kan sudah berganti. Saya merasa banyak kecocokan dengan Erick Thohir –menteri BUMN yang sekarang.

Dengan menteri yang lalu pun saya tidak punya masalah. Tapi rasanya tidak etis kalau saya mengomentari kebijakan pengganti saya. Saya pun memilih bersikap diam.

Memang sesekali saya menyinggung dalam tulisan. Tapi sangat terkontrol. Misalnya saat BUMN berhasil mengambil alih Freeport. Saya memberikan pujian.

Lalu soal blackout listrik akibat pohon sengon yang bergoyang di dekat Semarang.

Selebihnya saya selalu menolak undangan seminar. Juga menolak wawancara koran maupun televisi.

Tapi Senin lalu saya harus ‘berkhianat’. LP3ES terlalu berarti bagi perjalanan hidup saya.

Peristiwanya terjadi tahun 1975.

Saat saya masih bujangan.

Umur saya baru 24 tahun.

Saya adalah reporter sebuah koran kecil di kota yang amat kecil: Samarinda. Korannya empat halaman. Terbitnya seminggu sekali. Sering juga tidak terbit.

Baca Juga:Polemik Bansos di Tengah PandemiMUI KBB Perbolehkan Salat Idul Fitri Berjamaah tapi Dibatasi 50 Orang

Teknologi koran itu membuat saya bersyukur: bisa merasakan seperti hidup di tahun 1940-an. Penyusunan huruf di percetakannya persatu huruf.

Huruf itu terbuat dari timah. Huruf ‘a’ berkumpul menjadi satu di satu kotak. Demikian juga ‘b’, ‘c’ dan seterusnya. Lalu ada kotak-kotak lain untuk huruf besar.

Pegawai penyusun huruf itu sering tidak masuk. Itu memberi kesempatan pada saya untuk belajar menyusunnya secara benar.

Akhirnya bisa.

Saya sering tidak perlu menulis berita. Hasil wawancara langsung saya susun di tempat huruf-huruf itu. Saya juga bisa memutar mesin cetak yang masih menggunakan tangan.

Saya beruntung mengalami zaman paling belakang di teknologi cetak. Kalau ke museum –di Amerika, misalnya– saya bisa menjelaskan bagaimana cara kerja benda kuno itu.

0 Komentar