Indah Kumuh

Indah Kumuh
1 Komentar

Oleh: Dahlan Iskan

Setelah ke Kuil Hanoman saya ke masjid. Masih di kota suci Hindu Varanasi, negara bagian Uttar Pradesh.

Saya ingin tahu kehidupan minoritas Islam di pusatnya Hindu ini. Terutama di saat Hinduism lagi pasang naik secara drastis sepuluh tahun terakhir.

Saya juga ke masjid di Agra. Masih di negara bagian Uttar Pradesh. Lima jam naik mobil dari Varanasi. Masjidnya di sebelah pusat turis Taj Mahal.

Baca Juga:Aset Nahdhatul Ummah Capai Rp 9,1 MSampah Dibiarkan Berserakan di TPS

Tentu, saya juga ke masjid kuno di Old Delhi. Sisa peninggalan kejayaan Islam di India. Yang seumur dengan Taj Mahal. Bahkan dibangun oleh raja yang sama. Dengan arsitektur yang sangat mirip.

Tiga masjid itu beraliran Sunni. Yang mereka juga lagi gelisah atas serbuan aliran Wahabi. Seminggu sebelum itu saya ke masjid Ahmadiyah.

Di tempat lahir tokoh sentral mereka di Desa Qadian, Punjab: Mirza Ghulam Ahmad.

Selama di India saya mendapat dua macam keterangan yang berbeda.

Sebagian mengaku sekarang ini lebih tertekan. Sebagian lagi mengatakan biasa-biasa saja.

Waktu di Varanasi, saya bertemu anak muda. Ia yang mengantar saya ke masjid. “Masjid ini baru tiga tahun,” katanya. “Dulunya kecil. Dibongkar. Dibangun baru,” tambahnya.

Saya salat Zuhur di situ. Waktunya sudah lewat sedikit. Tidak bisa ikut berjamaah bersama penduduk setempat. Tapi masih ada tiga anak kecil yang bersila di karpet: belajar membaca Al-quran. Dengan Al-quran ditaruh di atas rehal. Seorang ustaz muda mengajari mereka.

Saya pun duduk bersila di dekat mereka. Lalu ikut membawa Al-quran. Surah Yasin. Mungkin nada baca saya kedengaran aneh di telinga anak-anak India itu. Mereka berhenti belajar –memperhatikan cara saya membaca.

Baca Juga:BPJAMSOSTEK Bayarkan Jaminan Rp310 M Sepanjang 2019Bupati Minta PKK jadi Motor Penggerak Pembangunan

Masjid ini berada di kampung Islam Varanasi. “Kampung kami ini berpenduduk sekitar 10.000 orang. Semua Islam,” ujar anak muda itu. “Di sekitar ini ada 15 masjid,” tambahnya.

Kampung ini juga dikenal sebagai kampung tekstil. Saya masuk-masuk gang di situ. Semua memproduksi kain. Termasuk sutra.

Kampung ini cukup rapi dan bersih –untuk ukuran India. “Kami tidak merasakan kesulitan beragama. Biasa saja. Sejak dulu begini,” katanya.

1 Komentar